Salah satu faktor yang mendorong capital outflow adalah tingkat credit scoring, ini semacam penilaian tingkat kelayakan investasi obligasi di suatu negara. Credit scoring Indonesia berdasarkan penilaian lembaga internasional Standard and Poor’s dan Fitch adalah BBB.
Dengan nilai tersebut, Indonesia sebenarnya sudah masuk kategori investment grade atau layak investasi. Namun, tingkat kelayakan itu masih di bawah negara-negara maju (umumnya nilai A) bahkan negara tetangga yakni Malaysia dan Singapura.
Jadi, dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 6%, BI telah memperlebar jarak dengan suku bunga acuan AS. Setidaknya, dalam beberapa waktu ke depan, risiko tingkat suku bunga menjadi sama dengan AS dapat dikurangi. Risiko capital outflow pun diharapkan bisa direduksi dan nilai rupiah kembali menguat.
Apa Hanya Karena AS?
Apakah patokan untuk menaikkan suku bunga acuan semata-mata karena kebijakan AS? Tentu tidak.
Mengutip rilis hasil RDG BI, ada berbagai pertimbangan sebelum menetapkan suku bunga acuan, diantaranya kondisi ekonomi global, pertumbuhan ekonomi domestik dan daya tahan terhadap dampak rambatan global, kinerja neraca pembayaran Indonesia, tingkat inflasi, kondisi perbankan, dll.
Dapat juga dilihat bahwa BI menaikkan suku bunga acuan setelah bertahan sejak Januari 2023. Dalam kurun waktu tersebut, Federal Reserve sudah 4 kali menaikkan suku bunga acuannya.
Pelindungan Daya Beli Masyarakat
Setiap kebijakan terkait suku bunga acuan tentu berdampak kepada masyarakat, terutama dari aspek daya beli. Untuk itulah, perlu adanya langkah-langkah untuk melindungi mereka.
International Monetary Fund dalam kajiannya yang bertajuk “Higher-for-Longer Interest Rate Environmentis Squeezing More Borrowers” menekankan mulai munculnya trend suku bunga tinggi dalam jangka panjang (higher for longer).
Pihak paling terdampak dari trend tersebut adalah para debitur rumah tangga di sektor properti. Mereka akan terbebani pembayaran angsuran yang semakin berat.