Beberapa bulan terakhir, saya seperti kehilangan arah menulis. Bukan karena tak punya waktu, tapi karena seolah semua kata berhenti di ujung jari. Padahal dulu, setiap ide kecil bisa tumbuh menjadi tulisan penuh makna. Tapi, belakangan ini semua terasa hening.
Namun, dari keheningan itu, saya belajar satu hal penting: diam bukan berarti berhenti. Kadang kita hanya butuh waktu untuk menata ulang, memahami kembali mengapa kita menulis sejak awal.
Ketika Semangat Menulis Mulai Pudar
Setiap penulis pasti pernah mengalami masa di mana inspirasi seolah menguap. Kita membuka laman Kompasiana, membaca tulisan orang lain, lalu tiba-tiba merasa kecil.
"Apakah tulisanku masih layak dibaca?"
"Apakah masih ada yang peduli dengan kisah sederhana ini?"
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering menjadi alasan kita berhenti. Padahal, sejatinya, menulis bukan tentang seberapa banyak orang membaca, tapi tentang seberapa jujur kita pada diri sendiri.
Menemukan Makna di Balik Jeda
Dalam masa vakum itu, saya tetap memperhatikan tulisan-tulisan para penulis lain di Kompasiana. Ada yang konsisten setiap minggu, ada yang menulis hanya saat ada isu hangat, dan ada juga yang seperti saya, pernah berhenti sejenak.
Saya sadar, menulis adalah perjalanan panjang. Jeda bukan kegagalan, tapi bagian dari proses menemukan makna baru. Saat kita berhenti sejenak, kita sedang memberi ruang pada diri sendiri untuk tumbuh.
Ketika Diam Justru Menghidupkan Kembali
Menulis kembali setelah lama diam ternyata seperti belajar menulis dari awal. Jari-jari ini agak kaku, kata terasa berat, tapi semangatnya justru lebih murni. Kali ini, saya tidak menulis untuk mengejar popularitas, bukan pula untuk headline, tapi untuk menghidupkan kembali diri yang pernah mencintai menulis. Menulis lagi di Kompasiana memberi saya kesadaran baru bahwa setiap tulisan, sekecil apa pun, tetap punya arti. Bukan hanya bagi pembaca, tapi juga bagi penulisnya.