Begitulah agama, oleh kawan saya tersebut, digambarkan sebagai sesuatu yang jahat dan mengerikan. Di lain kesempatan, dengan gambaran yang kurang lebih sama, seorang kawan saya yang lain mengatakan dengan mantap:
"Agama saya adalah kemanusiaan. Â Saya tidak percaya pada institusi agama apapun karena mereka hanya membuat kita yang bersaudara ini terkotak dan berkonflik".
Jangan bayangkan yang mengatakan hal tersebut adalah orang berkulit putih dari negara yang banyak dilabeli "kafir". Sama sekali tidak.
Sebuah kekecewaan terhadap manifestasi agama membuat banyak orang kehilangan kepercayaan terhadap agama itu sendiri. Terlebih dalam dunia yang serba digital ini, kebencian begitu mudahnya disebar.Â
Hanya bermodal smartphone, kuota internet, dan jari yang mau bekerja, genderang permusuhanbisa dengan mudah ditabuh. Hoax menjadi asupan otak setiap harinya.
Jika cermat, tentu dengan gambling kita melihat, bukan agama yang menjadi motor penggerak propaganda perpecahan ini. Agama terlalu suci untuk menodai ikatan kemanusiaan.
Namun banyak yang tak paham. Konflik politik, ketimpangan sosial, dan kepentingan-kepentingan hajat hidup manusia seringkali meminjam agama untuk menjadi sumbunya.
Agama itu sumbu paling ampuh untuk mengobarkan api kebencian, dan sebagai sumbu, ia tak akan menyala tanpa ada percik api yang membakarnya. Siapa?
Agama adalah way of life, jalan hidup. Bagaimana jadinya jalan tersebut, baik atau tidaknya, terjal atau mulusnya, adalah umat beragama yang mendefinisikannya sendiri.
Persepsi Islam adalah agama teroris, suka memfitnah dan menuding kafir, mudah tersulut berita hoaks banyak menimbulkan pertanyaan singkat, apa yang salah dengan Islam?
Tentu bagi Muslim jawaban ini sangat menyakitkan. Bagaimana mungkin kecintaan terhadap Islam justru menjadi boomerang bagi Islam itu sendiri?