Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pekan Kebudayaan Nasional 2020 Akhirnya Diadakan Lagi

18 Oktober 2020   15:07 Diperbarui: 18 Oktober 2020   15:11 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Siapa yang mau perhatikan nasib seniman? Disuruh perform online. Emang mereka punya gadget bagus dan pulsa buat upload videonya? Emang ada yang jutaan yang nonton sampe bisa hasillin iklan jutaan? Boro-boro.." Kata teman saya yang sibuk mengurusi seniman. 

Seniman dan budayawan, tidak bisa dipukul rata semuanya selebriti yang punya subscriber atau follower jutaan. Banyak di antaranya nobody, alias mereka yang idealis berkarya. Namun idealisme tak bisa jalan kalau bensinnya tak ada. Mana ada seniman bisa perform kalau perutnya masih kelaparan? 

"Bila seorang artis terkenal bisa mendulang jutaan rupiah dari programnya di media sosial, seorang seniman jalanan harus berjuang keras mendapatkan ratusan pengunjung yang bersedia mendengarkan, berlangganan, memberi tanggapan dan menyebarkan. Dari viralnya pertunjukkan yang ia lakukan lah, ia baru mendapat iklan yang akan memberinya uang. Usaha keras yang dilakukan dan biaya yang dikeluarkan tidak sepadan dengan hasil yang didapat dari tayangan online. " demikian ungkap Reno Risanti di artikelnya di Serikat News.

Itulah yang jadi problem pelik pada masa pandemi. Tak semuanya bisa berjalan sesuai teori. Kalaupun mau didisiplinkan, pemerintah mau tak mau harus turun tangan memberikan dorongan bahkan fasilitas, bila tidak bisa disebut subsidi bagi mereka untuk terus berkarya. Tidak mesti dalam bentuk subsidi tunai memang, tapi minimal fasilitas untuk berkarya secara online. 

Inilah yang kemudian menjadi salah satu pendorong diadakannya Pekan Kebudayaan Nasional 2020. Event yang menyajikan berbagai karya seni, budaya, bahkan permainan tradisional ini kini hadir kembali setelah sukses diadakan tahun 2018 dan 2019. 

Bedanya hanya perapan protokol kesehatan yang ketat dan hampir sepenuhnya bisa dinikmati secara online melalui situs pkn.id.

Dukungan atas dibuatnya event "ngamen online" oleh pemerintah ini sidah banyak disuarakan sebelumnya. Tak kurang Gantyo Koespradono menulis bahwa memang mereka membutuhkan bantuan. 

"Pandemi Covid-19 --- entah, tak ada yang bisa memastikan kapan berakhir --- memang memukul siapa pun, tidak kecuali para seniman," demikian tulis Gantyo di Geotimes.

Jika pun ada suara sumbang, mungkin lebih terkait kedisiplinan menerapkan protokol kesehatan selama event berlangsung, seperti yang dituturkan Elisa Korag di artikelnya di Kompasiana. "Daripada memberi peluang masyarakat nggak disiplin dan berakhir dengan terjangkiti covid19, lebih baik kembali PSBB!" 

Kekhawatiran ini bisa dimaklumi. Dan tidak ada cara untuk membuktikannya benar atau salah selain dicoba. Jika memang berakhir dengan tak disiplin, tentu bisa dievaluasi kembali dengan banyak perbaikan. 

Tapi jika tidak dicoba ya kapan bisa terbukti benar atau tidaknya? Wong lagian nonton acaranya full online kok. Agak sulit membayangkan bagaimana caranya penonton bisa tertular dari acara ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun