Daging yang digunakan bisa bervariasi, babi, ayam, ikan, hingga kerbau. Namun bagi masyarakat setempat, pa'piong lebih akrab menggunakan daging babi.Â
Pa'piong baru dianggap selesai dimasak setelah 1-2 jam dan batang bambunya menghitam, yang kemudian dipecahkan dan bagian dalamnya dinikmati.
Setelah kenyang makan pa'piong, saya memutuskan tidur hingga pagi hari. Benar saja, hujan turun dan seisi kamar jadi dingin. Maklum daerah Karrasik ini ada di tepi perbukitan. Anginnya dingin menusuk badan. Brr...
Pagi hari sambil check in ulang, saya pamit sebentar menitipkan kunci untuk berjalan ke arah Pasar di pusat kota Rantepao yang terbelah oleh Sungai Sa'dan. Di sini tampaknya orang-orang lebih tergila-gila dengan baju dan oleh-oleh kerajinan tangan, karena agak sulit mencari warung makanan.Â
Beruntung saya menemui sebuah Warung Dangkot Bebek 99. Di sini sebenarnya menjual berbagai masakan yang sepertinya terpengaruh oleh kuliner Makassar.Â
Namun saya baca di Google, setiap daerah di Sulawesi punya versi dangkot bebeknya sendiri-sendiri. Dangkot dari Toraja termasuk yang paling pedas.
Tapi bedanya dengan masakan minang, dangkot lebih tidak berminyak dan paduan sereh, jahe, dan kunyit membuat baunya lebih harum Namun dari segi rasa ya sama saja.
"Tambah nasinya, Bu," Ibu-ibu penjaganya sampai senyum-senyum sendiri melihat saya makan nambah hanya untuk sarapan. Memang dalam keadaan dingin, nafsu makan jadi lebih besar.
Semakin ke arah dalam pasar, semakin ramai ibu-ibu Toraja yang menjajakan kain dengan warung lesehan. Saya menemukan kain ikat tipis dengan harga murah di sini.Â
Tapi yang menjadi buruan utama saya adalah Lombok Katakkon, yang kemarin diceritakan oleh Zed Parentha. Ternyata cabe jenis ini baru dijajakan menjelang siang, sekitar pukul 10:00 di bagian belakang pasar.