Sesampai di Rantepao, ibukota Toraja Utara, saya masuk ke salah satu hotel bernama Rosalina di sekitaran Karassik. Yang sayangnya terlihat sepi tak ada satu pun penjaganya.Â
Sayang sekali, padahal hotel ini tepat berada di tepi sawah yang menghadap barat, sehingga bisa memburu pemandangan pemandangan mentari terbenam di sini. Sewanya pun murah, hanya Rp 220 ribu.
"Ke depan saja, ada Hotel Pison," Seru salah seorang warga saat saya tanyakan di mana penginapan lainnya. Lumayan juga olahraga 700an meter, pikir saya.
Saya lihat di Google, sewa kamar di Hotel Pison sama seperti di Rosalina, demikian juga hotel di sebelahnya, Pias Poppies. Hotel Pison terlihat sederhana dan penuh dengan ukiran khas Toraja.Â
Hampir seluruh bagian hotel ini dari kayu, kecuali kamar-kamar tempat menginapnya. Saya perhatikan bagian halaman, beberapa anjing tegap dan kekar sedang berjaga. Memang di Toraja ini orang tampaknya lebih senang memelihara anjing dibanding kucing.
Segera setelah memesan hotel, saya melihat-lihat menu makanan yang disajikan. Ada beberapa masakan babi, seperti pa'piong babi, bakso babi, dan babi guling. Syukurnya mereka juga berbaik hati menawarkan versi halalnya.
"Masak pa'pion bisa lama berjam-jam. Tidak apa-apa, kah, Pak?" Tanya perempuan penjaga hotelnya. Saya setuju. Toh di jalan tadi sudah makan cukup banyak. Jadi mungkin baru akan merasa lapar beberapa jam lagi.Â
Pa'piong adalah teknik memasak di dalam bambu. Ayam atau babi dicampurkan dengan potongan badan pisang yang masih muda, daun miana, jahe, dan serai yang membuat harum.
Dan ternyata memang harga segitu sebenarnya sangat murah, karena mendapatkan tiga potong ayam. Jadi sebenarnya ukurannya adalah tiga porsi.
Pa'piong seperti pepes, hanya saja tidak ada bau daun pisang, digantikan bambu yang baunya lebih netral. Batang pisang muda yang menyertainya lebih mirip rasa jamur tiram. Daun miananya mirip rasa bayam.Â
Daging yang digunakan bisa bervariasi, babi, ayam, ikan, hingga kerbau. Namun bagi masyarakat setempat, pa'piong lebih akrab menggunakan daging babi.Â
Pa'piong baru dianggap selesai dimasak setelah 1-2 jam dan batang bambunya menghitam, yang kemudian dipecahkan dan bagian dalamnya dinikmati.
Setelah kenyang makan pa'piong, saya memutuskan tidur hingga pagi hari. Benar saja, hujan turun dan seisi kamar jadi dingin. Maklum daerah Karrasik ini ada di tepi perbukitan. Anginnya dingin menusuk badan. Brr...
Pagi hari sambil check in ulang, saya pamit sebentar menitipkan kunci untuk berjalan ke arah Pasar di pusat kota Rantepao yang terbelah oleh Sungai Sa'dan. Di sini tampaknya orang-orang lebih tergila-gila dengan baju dan oleh-oleh kerajinan tangan, karena agak sulit mencari warung makanan.Â
Beruntung saya menemui sebuah Warung Dangkot Bebek 99. Di sini sebenarnya menjual berbagai masakan yang sepertinya terpengaruh oleh kuliner Makassar.Â
Namun saya baca di Google, setiap daerah di Sulawesi punya versi dangkot bebeknya sendiri-sendiri. Dangkot dari Toraja termasuk yang paling pedas.
Tapi bedanya dengan masakan minang, dangkot lebih tidak berminyak dan paduan sereh, jahe, dan kunyit membuat baunya lebih harum Namun dari segi rasa ya sama saja.
"Tambah nasinya, Bu," Ibu-ibu penjaganya sampai senyum-senyum sendiri melihat saya makan nambah hanya untuk sarapan. Memang dalam keadaan dingin, nafsu makan jadi lebih besar.
Semakin ke arah dalam pasar, semakin ramai ibu-ibu Toraja yang menjajakan kain dengan warung lesehan. Saya menemukan kain ikat tipis dengan harga murah di sini.Â
Tapi yang menjadi buruan utama saya adalah Lombok Katakkon, yang kemarin diceritakan oleh Zed Parentha. Ternyata cabe jenis ini baru dijajakan menjelang siang, sekitar pukul 10:00 di bagian belakang pasar.
Tapi kalau mau berkeliling, sebenarnya kita tetap bisa mendapatkan berbagai variasi ukuran, hingga sebesar bola golf. Setelah beberapa lama, saya berhasil mengumpulkan Katakkon sekitar satu kilogram untuk oleh-oleh
"Itu awal digigitnya memang seolah tidak pedas, Mas Har. Tapi nanti beberapa saat setelahnya baru mulai menyengat," kata Senobawan mengingatkan, setelah saya beritahu kepada dia via Whatsapp kalau saya berhasil menemukan Lombok Katakkon.
Karena itu, selain belanja oleh-oleh, saya mendatangi minimarket terdekat untuk membeli susu dan yoghurt. Dan setelahnya, di hotel saya masih memesan kopi susu dingin untuk bersiap-siap.Â
Saya pasang tiga smartphone untuk merekam video. Satu untuk live di Facebook, satu di Twitter, dan satu untuk Youtube.
Dibandingkan dengan cabe rawit yang Cuma 100 ribu SHU, Lombok Katokkon bisa dibilang 6-7 kali lipat lebih pedas. Dan rekor dunia cabe terpedas saat ini adalah California Reaper, sekitar 1,2 sampai 1,5 SHU, atau sekitar dua kali lipat Katokkon.Â
Bahkan menyentuh Lombok Katokkon ini saja panasnya langsung menjalar dari ujung jari hingga ke punggung, seolah dibaluri balsem tipis-tipis.
Seram...
Tapi deg-degan saya terbayar saat merobek cabe mirip paprika mini ini. Rasa asamnya lebih mirip paduan paprika dan tomat. Sampai saya menertawakan diri sendiri karena terlalu takut dengan ulasan di internet.
Namun itu belum apa-apa. Setelah mengunyahnya sepuluh detik, barulah rasa pedas dan sakit menjalar dari gigi, pindah ke lidah, melewati kerongkongan, dan terasa hingga ke otak belakang!
"Arghhh.. pedas!"
Dan karena yang dihasilkan adalah pedas panas yang menusuk, minum yoghurt, susu, dan kopi susu yang manis nyaris tidak menolong apa-apa.Â
Saya menyesal, harusnya tadi dibuatkan susu panas saja karena lebih efektif melarutkan capsaicin, sumber pedas di dalam cabe yang lebih mudah larut dalam lemak dan dalam keadaan panas.
Teman-teman di media sosial pun menyemangati. Ada juga sih yang malah menertawakan, seperti sepupu saya Dicky, yang malah menyebut aksi saya ini nekat.Â
Banyak juga yang minta supaya saya nambah lagi untuk cabe kedua, yang jelas akan saya tolak mentah-mentah. Satu biji saja rasanya sudah menyiksa sekali kok.
Butuh tiga yoghurt, susu kopi, dan susu untuk menghilangkan rasa pedasnya. Tapi saya bersyukur keesokan harinya buang air masih lancar.Â
Ternyata tidak sengeri yang diceritakan teman-teman dari Toraja yang katanya bisa sampai masuk rumah sakit karena diare tidak berhenti-berhenti. Pedasnya cuma bertahan sekitar 1 jam saja.Â
Memang luar biasa kuliner Toraja dengan semua kejutannya. Ada yang pedas, ada yang penuh aroma rempah, ada yang gurih lembut. Semua bisa kita nikmati sesuai pilihan dan selera masing-masing.
Itupun dalam porsi jumbo yang bisa dihabiskan berdua atau bertiga. Lalu menjelang senja, saya menonton sunset di balik perbukitan di sekitar Karrasik. Indah luar biasa, jadi konten yang menarik untuk saya share di instagram
Oleh-oleh sudah dibelikan, termasuk kerajinan khas Toraja dan biji kopi yang ternyata ada roasterynya di bawah hotel saya. Pantaslah tiap pagi saya selalu terbangun oleh manisnya harum kopi yang baru saja dimasak.Â