Pernyataan Erick Thohir bahwa "korupsi di BUMN tidak mungkin dihapus seratus persen" memang menghadirkan dilema menarik. Di satu sisi, ada kejujuran yang jarang kita temukan dari seorang pejabat publik---pengakuan akan kompleksitas masalah korupsi yang telah mengakar dalam sistem birokrasi Indonesia. Di sisi lain, pernyataan ini bisa diinterpretasikan sebagai bentuk penyerahan atau legitimasi atas kegagalan.
Kejujuran Erick Thohir perlu ditempatkan dalam konteks yang tepat. Sebagai Menteri BUMN, ia mungkin mengalami langsung betapa dalamnya praktik korupsi telah merasuk ke dalam struktur organisasi. Pengakuannya mungkin berasal dari pemahaman realistis tentang tantangan yang dihadapi, bukan sekadar pernyataan menyerah.
Namun, pertanyaannya: apakah sikap realistis harus berujung pada penerimaan status quo? Seorang pemimpin tidak hanya diukur dari kemampuannya menyampaikan realitas, tetapi juga dari tekadnya mengubah realitas tersebut, meskipun sulit.
Pernyataan ini berpotensi menciptakan apa yang disebut Giorgio Agamben sebagai "state of exception"---kondisi di mana anomali dijadikan norma baru. Ketika korupsi diterima sebagai sesuatu yang "tidak mungkin dihapus seratus persen," kita bergerak dari memandangnya sebagai kejahatan yang harus diberantas menjadi sekadar "risiko operasional" yang harus dikelola.
Lebih jauh lagi, pernyataan ini bisa menjadi pembenaran bagi berbagai kebijakan kontroversial seperti privatisasi BUMN tanpa memperbaiki akar masalahnya terlebih dahulu.
Transparansi memang penting, tetapi tanpa diikuti dengan tindakan transformatif, ia hanya menjadi semacam "teater kejujuran." Seperti yang Anda singgung tentang pemikiran Judith Butler, performativitas tanpa substansi hanya menciptakan ilusi perubahan.
Erick Thohir mungkin benar dalam diagnosisnya, tetapi apakah ia juga menawarkan terobosan untuk mengatasi masalah tersebut? Ataukah pernyataan itu menjadi semacam alibi untuk tidak melakukan perubahan sistemik yang lebih radikal?
Yang kita butuhkan bukanlah pemimpin yang hanya berani berkata jujur, tetapi juga berani melakukan transformasi sistemik. Mengakui bahwa korupsi sulit diberantas tidak berarti kita harus berhenti berusaha. Sebaliknya, pengakuan itu seharusnya menginspirasi pendekatan yang lebih komprehensif dan inovatif.
Pernyataan Erick Thohir seharusnya menjadi titik awal diskusi tentang bagaimana mendesain ulang sistem yang membuat korupsi tidak lagi menguntungkan. Ini membutuhkan perubahan dalam insentif, pengawasan, budaya organisasi, dan tentu saja, kepemimpinan yang transformatif.
Pada akhirnya, apakah negara menyerah atau tidak tergantung pada apa yang terjadi setelah pernyataan tersebut. Jika diikuti dengan kebijakan yang inovatif dan berani, maka pernyataan itu menjadi langkah realistis menuju perubahan. Namun jika hanya berakhir sebagai justifikasi untuk status quo, maka ia benar-benar menjadi tanda penyerahan.