Lautan membentang luas, namun tak cukup lapang untuk menampung air mata seorang laki-laki. Kita melangkah di atas aspal panas, mengukir ketegaran dengan setiap derap kaki, menyimpan badai emosi dalam ruang dada yang tak tertembus.
Kita adalah arsitek ketangguhan, memahat senyum dari serpihan kesedihan, mengubah tangis menjadi tawa yang memantul keras di ruang publik. Seperti tembok granit yang kokoh, kita berdiri tegak---meski retak-retak memenuhi batin yang tak terlihat dari dalam.
Setiap pagi adalah pertempuran, di mana kita menyematkan senyum sebagai zirah, memeluk istri dan anak dengan kehangatan yang menyamarkan segala kegelisahan. Kita melangkah ke medan perang bernama pekerjaan, bukan karena ringan, melainkan karena beban adalah kodrat yang harus dijunjung.
Setiap malam adalah perjuangan, di mana kita kembali ke rumah, dengan baju zirah yang sudah hancur, memeluk istri dan anak dengan kehangatan yang menyamarkan segala kelelahan. Kita pulang dari medan perang bernama pekerjaan, bukan karena pekerjaan selesai, namun karena rindu berat kepada mereka yang harus dilampiaskan.
Bagaimana mungkin mereka bahagia, jika setiap aku pulang, yang kuhadapkan pada mereka hanyalah wajah muram penuh kepedihan?
Bagaimana mungkin hidup mereka terjamin, jika aku tidak berpura-pura bekerja, sementara di balik itu, tubuh dan jiwa ini terus terkikis oleh derita? Bagaimana mungkin mereka makan dengan tenang, jika aku terpuruk dalam kubang kesedihan, tak lagi mampu mengais rezeki?
Bagaimana mungkin mereka tertawa, jika air mataku tak kuasa lagi kutahan---beban di pundak ini terasa semakin menghancurkan? Bagaimana mungkin mereka memiliki harga diri, jika sang suami masih terbelenggu oleh gengsi yang tak berarti?
Lepaskan gengsi! Bangkit dan jadilah cahaya. Karena kebahagiaan mereka dimulai dari diriku yang kuat. Ya, yang terlihat kuat.
Dunia tidak punya waktu untuk mendengar keluhan; yang ada hanyalah tuntutan brutal dan harga diri yang harus dipertahankan dengan gigi dan kukuh. Like a boss, kita menelan gengsi bagaikan pil pahit, menyadari bahwa keluarga tak bisa disuguhi dengan air mata atau rintihan, apalagi amarah karena lelah bekerja.
Kebahagiaan bukanlah tentang ketiadaan beban, melainkan pilihan untuk tetap berdiri di tengah badai. Kita menutup luka dengan senyum semenawan mungkin, mengelap keringat dengan tangan yang sama yang mengusap lembut kepala buah hati.
Filosofi hidup yang tak terucap: "Jangan menangis, karena dunia tidak akan menangis bersamamu." Maka kita bertahan---bukan karena kita kuat, tetapi karena menyerah adalah kemewahan yang tak kita miliki.