Sekarang ini, komunikasi politik sering bikin kita geleng-geleng kepala. Alih-alih jadi jembatan antara wakil rakyat dan warga, banyak politisi justru pakai kata-kata kasar, makian, atau komentar nyerang yang bikin suasana makin panas. Misalnya, ada anggota dewan yang bilang, "Orang yang bubarkan DPR orang tolol sedunia." Dengar aja udah bikin panas telinga, kan?
Ini yang disebut kemiskinan moral dalam komunikasi politik. Bukannya kasih argumen atau penjelasan, mereka pilih cara cepat: hina orang lain. Efeknya? Rakyat jadi jauh dari wakilnya, protes berubah jadi emosi, dan kepercayaan publik makin tipis. Bahasa seorang wakil rakyat itu seharusnya jadi wajah demokrasi, tapi kalau dipenuhi makian, demokrasi malah terlihat rapuh.
Makanya, kita butuh wakil rakyat yang nggak cuma jago bikin undang-undang, tapi juga bisa jaga kata-kata, santun, dan empati. Warga juga punya peran, harus berani menuntut komunikasi politik yang sehat. Kalau nggak, demokrasi cuma jadi formalitas tanpa rasa hormat sama sekali.
Singkatnya: politik itu bukan cuma soal kekuasaan atau materi, tapi soal martabat, etika, dan bagaimana kita bicara satu sama lain. Kalau bahasa udah rusak, demokrasi juga ikut tergerus.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI