Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Restorasi Meiji, Titik Tolak Modernisasi Jepang

7 November 2016   08:29 Diperbarui: 7 November 2016   09:01 3460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Baru-baru ini saya mendengarkan lagu “Heartache” yang dinyanyikan band One OK Rock. Sebenarnya ini lagu lama yang dirilis beberapa tahun lalu. Lagu ini menjadi salah-satu sound track film “Samurai X” edisi layar lebar. Ketika saya berselancar di internet saya menemukan fakta bahwa film “Samurai X” ini berlatar belakang Jepang pada masa Restorasi Meiji (1866-1869).  Pada masa itu Kaisar Meiji menjalankan program Restorasi Meiji yang menjadi titik tolak kemajuan Jepang. Tahukah Anda apa yang disebut “Restorasi Meiji” itu?

“Restorasi Meiji” adalah sebuah kebijakan yang digagas Kaisar Jepang pada waktu itu, Meiji. Kaisar yang naik tahta pada masa muda ini mencetuskan sebuah program modernisasi di segenap bidang kehidupan. Pada masa itu Jepang mulai melihat Barat sebagai sumber kemajuan. Pemerintah Jepang mengirimkan delegasi ke Eropa dan Amerika untuk mempelajari sistem pendidikan di sana. Jepang ingin meniru sistem pendidikan di segala lini dari Eropa dan Amerika. Selain itu, Kaisar Jepang ini memerintahkan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dalam jumlah besar dari Eropa dan Amerika ke dalam bahasa Jepang.

Kaisar Meiji adalah seorang muda yang mempunyai visi yang jauh ke depan.  Ia berusaha melepaskan Jepang dari belenggu keterbelakangan dan rasa malu yang amat sangat ketika Komodor Matthew C. Perry dari Angkatan Laut Amerika Serikat membuka  paksa pelabuhan-pelabuhan Jepang. Sebelumnya Jepang menutup pelabuhannya dari kapal-kapal asing.

Jepang kemudian memulai program industrialisasi dan pembangunan militer yang kuat. Yang menarik adalah Restorasi Meiji ini bukanlah sesuatu mudah dilakukan. Kaisar Meiji harus menghadapi banyak halangan bahkan perang saudara. Tidak semua orang Jepang pada waktu itu setuju dengan apa yang dilakukan Meiji. Mereka takut Jepang akan meniru Barat dan meninggalkan kejepangannya. Banyak Daimyo dan Samurai di Jepang yang menolak Restorasi Meiji karena khawatir nilai-nilai kejepangannya akan tergerus.

Pada masa itu, tentara Jepang tidak lagi memakai pakaian perang tradisional tetapi meniru pakaian militer Barat, berikut tanda pangkat dan atribut-atributnya. Bahkan kaisar Meiji dan para stafnya mengenakan jas a la Barat. Peperangan antar klan dalam Restorasi Meiji ini tergambar dengan jelas dalam film “Samurai X”.

Kalau Anda pernah menonton film “The Last Samurai” yang dibintangi Tom Cruise, film ini pun sebenarnya juga berlatar belakang “Restorasi Meiji” bahkan lebih detil lagi.  Film mengisahkan bagaimana para samurai dengan pedang khasnya berperang melawan tentara Jepang modern yang menggunakan senapan panggul, senapan mesin dan meriam buatan Amerika. Mereka tidak melawan Kaisar, mereka hanya menolak modernitas. Mereka ingin menjadi Jepang seutuhnya.

Yang menarik dari pembuatan film “The Last Samurai” ini adalah dilibatkannya para antropolog dan sejarahwan untuk menggambarkan kondisi dan situasi Jepang pada masa itu dengan sangat mendetil.  Di akhir film, digambarkan bagaimana Kaisar Meiji yang masih sangat muda itu berikrar untuk mempertahankan kejepangannya walaupun memasuki era modernisasi.

Di era globalisasi ini, masyarakat Jepang tetap mempertahankan kejepangannya. Seorang penulis Barat mengatakan, “Secara lahir Jepang adalah Barat, namun secara batin tetap Jepang.”

Pelajaran dari kedua film di atas adalah kita bisa mempelajari sejarah tidak hanya lewat buku atau ceramah di kelas, tetapi melalui film-film sejarah yang tidak monoton. Memang film-film itu hanyalah cerita fiksi belaka, namun latar belakang historis dari cerita dari film itu mengandung nilai-nilai yang penting bagi generasi muda. Film-film berlatar belakang sejarah itu dibuat dengan cermat dengan melibatkan sejarahwan, sosiolog, dan antropolog sehingga kita bisa mempelajari kondisi sosial budaya di masa lalu.

Depok, 21 Oktober 2016

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun