Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tiga Srikandi Minang: Rahmah El-Yunusiyah, Roehana Koeddoes, dan Rasuna Said

13 Desember 2019   16:55 Diperbarui: 13 Desember 2019   17:00 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ia beranggapan bahwa perguruan ini merupakan milik rakyat Indonesia dan partai politik tidak boleh dibawa-bawa. Bagi Rahmah, politik adalah kecintaan kepada tanah air bukan mengacu kepada kelompok-kelompok tertentu.

Selain Perguruan Diniyyah Putri Padangpanjang, Rahmah juga mengadakan "Sekolah Menyesal" (1918-1923) yang ditujukan kepada ibu-ibu rumah tangga yang buta huruf. Animo masyarakat terhadap sekolah ini sangat tinggi di kalangan kaum perempuan. Murid-muridnya selalu bertambah.

Namun bukan berarti Rahmah tidak berpolitik. Ia juga aktif sebagai anggota Komite Nasional Daerah Sumatera Tengah. Ia juga menjadi ketua Komite Nasional Daerah Batipuh X Koto seksi kaum Ibu. Rahmah juga menjadi anggota Sumatera Cuo Sangi In yang dibentuk Jepang.

Ketika Proklamasi 17 Agustus berkumandang, Rahmah menjadi orang pertama yang mengibarkan bendera Sang Merah Putih di lapangan Perguruan Diniyyah Putri. Ia juga mempelopori terbentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Padangpanjang yang anggotanya diambil dari Laskar Gyu Gun dengan pembiayaan Rahmah sendiri. Untuk keperluan makan, ia mendirikan dapur umum di Perguruan Diniyyah Puteri.

 Pada tahun 1955, Rektor Universitas Al-Azhar, Mesir, berkunjung ke sekolah ini. Ia amat terkesan dengan sistem pendidikannya. Rektor Universitas Al-Azhar ingin berbuat yang sama seperti sekolah ini. Sepulangnya dari sana ia membuat Kulliyat Banat yang mencontoh sistem diniyyah putri.

Rektor Al-Azhar mengundang Rahmah El-Yunusiyah ke universitas itu pada 1956 sesudah ia menunaikan ibadah haji. Senat Universitas Al-Azhar menganugerahinya gelar kehormatan agama tertinggi, yakni Syaikhah yang biasanya hanya diberikan kepada laki-laki. Ini adalah kali pertama Universitas Al-Azhar menganugerahi gelar tersebut kepada seorang perempuan.

Banyak hal yang dilakukan Rahmah El-Yunusiyyyah untuk membangun dan mengembangkan Perguruan Diniyyah Putri Padangpanjang. Pada tahun 1938, orang-orang terkemuka menjulukinya sebagai "Kartini Gerakan Islam" dan "Kartini Perguruan Islam."

Prof. G. H. Bosquet dari Universitas Algiers sekitar 1937 sangat mengagumi Rahmah El-Yunusiyah dengan perguruan Diniyyah Puterinya. Sedangkan Cora Vreede menilai langkah Rahmah sangat menentukan sejarah pergerakan Indonesia. Kiprahnya dapat dipersamakan dengan surat-surat Kartini dan Sekolah Dewi Sartika di Bandung.

Rahmag El Yunusiyyah lebih beruntung dari RA Kartini karena ia berhasil mewujudkan cita-citanya dan bahkan sempat menghayati jerih-payahnya dengan segala suka dukanya.

Roehana Koeddoes: Wartawati Perempuan Pertama di Indonesia
Media dan perempuan pada masa dahulu seolah berjarak. Media di masa penjajahan Belanda selalu diurus dan dikepalai oleh para lelaki. Sedangkan kaum perempuan banyak yang buta huruf dan tidak berwawasan luas. Tidak ada media khusus kaum perempuan di Hindia Belanda pada dekade 1900-an.  

Keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan menyebabkan kaum perempuan di abad lampau tidak mempunyai akses kepada sumber-sumber informasi. Mereka hanya mendapatkan informasi dari orang-orang tua mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun