Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dua Paradigma Hutang Luar Negeri

25 Februari 2019   07:00 Diperbarui: 25 Februari 2019   07:16 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Salah-satu isu penting dalam Pemilihan Presiden kali ini adalah mengenai hutang luar negeri. Hutang luar negeri Indonesia pada 2019 ini mencapai Rp 5.260 trilyun. Sebuah jumlah yang amat besar. Banyak orang menyebutkan utang luar negeri yang besar ini akan menjadi beban di masa yang akan datang.

Di sisi lain, pemerintah Jokowi-JK menyatakan hutang luar negeri Indonesia masih sehat. Rasio hutang terhadap PDB masih berkisar di angka 30 persen. Hal ini belum melampaui amanat Undang-undang bahwa rasio hutang luar negeri terhadap PDB maksimal 60 persen.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Keuangan mengelola hutang luar negeri dengan prudent atau kehati-hatian. Sri Mulyani mengatakan di media dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya rasio hutang Indonesia masih lebih rendah. Lihat saja Vietnam. Rasio hutangnya mencapai 62 persen. Bahkan dibandingkan Malaysia dan Singapura rasio hutang Indonesia masih lebih kecil.

Mengapa ada pihak-pihak tertentu menggembar-gemborkan masalah hutang luar negeri ke publik? Tentu saja berbagai kelompok kepentingan berusaha mempolitisasi masalah hutang luar negeri untuk menjatuhkan citra Jokowi.

Kalau kita pilah ada dua paradigma yang berbeda secara ideologis mengenai masalah hutang luar negeri ini. Pertama adalah kelompok liberal atau neoliberal. Ekonom neoliberal amat nyata di dalam pemerintah. 

Menurut buku teks kaum liberal atau neoliberal, hutang luar negeri ini sangat baik untuk pertumbuhan ekonomi asalkan digunakan secara produktif. Oleh karena itu, pengelolaan amat hati-hati. Sri Mulyani adalah salah-satu tokoh kelompok. Dalam buku teks neoklasik, hutang merupakan salah-satu penerimaan negara yang amat penting.

Kedua, kelompok nasionalis ekonomi. Kelompok yang dimotori Prabowo dan beberapa ekonom lainnya berbeda pendapat dengan pemerintah mengenai hutang luar negeri. Bagi mereka, hutang luar negeri merupakan bentuk penjajahan asing terhadap kedaulatan ekonomi kita. 

Hutang bukan cuma masalah ekonomi juga masalah politik. Negara-negara Barat menggunakan hutang luar negeri untuk menjerat negara-negara berkembang dengan tujuan menguasai ekonomi mereka.

Kelompok ini menggunakan paradigma strukturalis atau Marxis untuk menganalisis ketergantungan antara negara-negara berkembang dan terbelakang sebagai pinggiran (periphery) dengan negara-negara Barat sebagai pusat (center). 

Teori ini disebut sebagai teori sistem dunia yang diperkenalkan oleh Immanuel Wallerstein. Negara-negara pusat berusaha mengeruk keuntungan dari negara-negara semi-pinggiran dan pinggiran dengan menggunakan perusahaan-perusahaan multinasional.

Kelompok Prabowo menggunakan paradigma nasionalisme ekonomi untuk melindungi kekayaan sumber daya alam Indonesia. Mereka menuding pihak-pihak asing yang berusaha mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Mereka menyebut ekonomi Indonesia terjajah.

Sedangkan kelompok Jokowi justru mengatakan sebaliknya. Dalam banyak kesempatan Jokowi mengatakan ekonomi Indonesia terus maju dengan dibangunnya infrastruktur di seluruh Indonesia. 

Perekonomian Indonesia tumbuh terus tanpa halangan berarti. Indonesia, menurut analisis perusahaan konsultan McKinsey, akan menjadi negara maju pada 2030 dengan pendapatan tinggi.

Hal ini selalu dibantah oleh kelompok Prabowo. Mereka mengatakan Indonesia berada dalam kondisi morat-marit, kacau, dan terjajah. Prabowo berupaya menggambarkan wajah buram Indonesia dan secara tidak langsung mengatakan  bahwa ia adalah solusinya. Untuk mendukung itu, Prabowo tak segan-segan menginterpretasi data secara gegabah.

Kedua paradigma mengenai hutang luar negeri tersebut berakar pada tradisi intelektual yang berbeda. Kelompok liberal atau neoliberal berakar pada pemikiran Adam Smith, David Ricardo, sampai J.M Keynes. Mereka menyarankan perdagangan bebas di dunia. Pemikiran ini menjadi pemikiran mainstream di universitas-universitas di Barat. Sedangkan kelompok nasionalis ekonomi menggunakan paradigma strukturalis yang berakar pada tradisi Marxisme.  Marxisme memang berlawanan terhadap liberalisme.

Sayangnya, paradigma strukturalisme sudah usang. Teori-teori Marxisme sudah tidak relevan lagi di era kekinian. Sementara itu pemikiran Bung Hatta terus digemakan oleh kelompok-kelompok pendukung sosialisme relijius. Hatta tidak mengharamkan hutang luar negeri asalkan tidak mengganggu kedaulatan politik. Pemikiran Hatta seharusnya yang diperhatikan oleh para elit politik dan ekonomi.

Di era kini, suatu bangsa tidak bisa menghindarkan dirinya dari hutang luar negeri. Bahkan negara-negara besar pun berhutang. Yang penting adalah  bagaimana mengelola hutang LN dengan baik. Di masa lalu, hutang LN digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang kemudian diselewengkan.

Tulisan ini tidak berusaha mengajak pembaca untuk menyetujui salah-satu dari keduanya. Yang terpenting, pilihlah yang terbaik dalam kondisi kini. Namun penulis berpendapat pemikiran yang terbaik adalah yang realistis. Kebijakan ekonomi Indonesia di masa lalu diwarnai dengan pragmatisme. Di era kini pun, pragmatisme ekonomi tidak bisa dihindari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun