Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Bukan Negara Sepak Bola

23 November 2018   15:25 Diperbarui: 26 November 2018   23:46 1484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Habis sudah pesona timnas PSSI yang sempat melambungkan perasaan waktu musim Asian Games 2018 lalu. Padahal di bawah kepelatihan Luis Milla waktu PSSI itu tampil menawan. Walaupun tersingkir di babak 8 besar, hati tetap berbunga-bunga sebab yakin itu hanya awal yang bagus dan menjanjikan. 

Tapi kepergian Luis Milla usai tampil di cabang sepak bola Asian Games ternyata juga membawa serta pergi "ilmu" yang sempat dia turunkan itu. Timnas yang kini diasuh Bima Sakti, asisten Luis Milla, terjun ke Piala AFF 2018.

Tapi hasil yang didapat sungguh mengecewakan. PSSI hancur total. Layu sebelum berkembang. Sentuhan Luis Milla nyaris tidak tampak dimainkan Evan Dimas dkk saat menghadapi tim-tim di Grup B: Singapura, Timor Leste, Thailand. Hasilnya, kalah melawan Singapura dan Thailand, hanya menang dengan susah payah melawan Timor Leste. Hari Minggu 25 November 2018 Garuda masih punya satu pertandingan melawan Filipina di Gelora Bung Karno, tapi pintu ke semifinal sudah tertutup rapat.

Bertanding melawan Filipina hari Minggu nanti jadi serba salah. Menang pun rasanya sia-sia. Kalau hanya untuk sekadar untuk sebuah "harga diri", memang berapa harga diri itu? Harga diri timnas itu adalah: nomor satu di Asia Tenggara. Juara! Kalau nanti malah kalah dihajar Filipina? Harga diri bangsa ini di mana? Mencatat hasil draw pun PSSI akan jadi bahan cibiran. Sungguh mengenaskan kondisi timnas yang penuh dilema ini. "Malang kali pun nasib timnas ini, bah," kata rekan-rekan Riko Simanjuntak di Medan sana.

Terlepas dari apa nanti hasil yang akan diperoleh timnas lawan Filipina, mungkin kita perlu juga merenung mengapa tim sepak bola bangsa yang sangat besar ini tidak bisa menjadi yang terbaik dan terbesar meskipun cuma di kawasan Asia Tenggara saja. Padahal segala persyaratan untuk menjadikan republik ini sebagai negara sepak bola, ada dan memadai. 

Misalnya jumlah penduduk terbesar di kawasan. Penggemar sepak bola pun bejibun, dan banyak warga, dari mulai kanak-kanak sampai orang dewasa menjadikan sepak bola sebagai permainan di kala senggang. Sepak bola merupakan olahraga paling favorit di negeri ini.

Di kampung kami dulu, anak-anak bermain sepak bola tanpa harus ada bola. Punya bola plastik saat itu sudah mewah, apalagi yang dari kulit. Kalau bola tidak ada, plastik sampah dikumpul lalu dipadatkan dibentuk seperti bola saja sudah memadai. 

Bahkan buah labu pun jadilah! Semua bermain serius. Lapangan luas untuk dijadikan tempat bermain pun banyak. Itu nostalgia di kampung dulu, di zaman Soeharto. Anak-anak punya bola sepak yang terbuat dari plastik pun sudah bisa bangga. Sekarang di zaman Jokowi, bola sepak itu barang yang sangat murah dan mudah didapat.

Dewasa ini, soal besarnya animo masyakarat kita pada sepak bola, bisa dilihat dari kegiatan sepak bola juga banyak ditemui di mana-mana. Sekolah-sekolah sepak bola, kompetisi-kompetisi sebagaimana ada di semua negara pun ada di negeri kita. 

Timnas kita pun selalu aktif mengikuti berbagai kompetisi internasional dari mulai kawasan Asean hingga penyisihan Piala Dunia. Tapi prestasi yang dicetak rasanya kok tidak sebanding dengan semua itu. Sangat jauh beda bila dibanding Thailand yang sudah beberapa kali menjuarai Piala AFF.

Mungkin karena belum ada yang dapat dibanggakan dari sepak bola ini, kita jadi kerap membawa-bawa nostalgia yang sebenarnya kurang tepat juga. Misalnya, kita set back ke tahun 1938 di mana "kita" pernah masuk ke Piala Dunia di Perancis. Padahal Indonesia baru ada setelah proklamasi 17 Agustus 1945. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun