Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Oposisi yang Cerdas Itu Mengkritik, Oposan yang Bodoh Mencela

20 Oktober 2018   17:42 Diperbarui: 20 Oktober 2018   17:44 701
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image result for demo www.foodlogistics.com


Di alam demokrasi, ada yang namanya opoisi, yakni kelompok atau partai politik yang berada di luar pemerintahan yang sedang berjalan. Lazimnya kelompok oposisi ini mengambil posisi sebagai "lawan" dari pemerintah yang sedang berkuasa. Keberadaan oposisi ini dipandang perlu sebagai pengawas atau wasit untuk menegor atau mengingatkan pemerintah supaya tidak salah jalur. Kalau semua pihak menjalankan fungsinya dengan benar, maka oposisi bisa saja disebut sebagai mitra pemerintah karena tidak hanya mengkritik namun sekaligus memberikan masukan untuk perbaikan. Dan pemerintah yang baik mestinya memerhatikan betul kritik dan saran-saran yang dilayangkan oleh oposisi, dan kalau memang beralasan, ya dilaksanakan. Itulah oposisi yang cerdas. Dan idealnya begitulah kehidupan politik di alam demokrasi.

Namun melihat situasi di negeri kita terutama di tahun politik ini, kondisi yang ideal sebagaimana dipaparkan di atas, sangat jauh panggang dari api. Kita punya pemerintah yang sah dan sedang bekerja menjalankan tugas dan kewajibannya. Di luar pemerintah juga ada parpol dan kelompok yang bersikap oposan. Celakanya, kelompok oposisi kita ini sedang "haus" dan "lapar" kekuasaan. Hal ini bisa dibayangkan, apalagi sejak tahun 2014 mereka telah mencoba, namun gagal total.  Dan sekarang, setelah "sabar" menunggu lima tahun, kesempatan itu datang lagi.

Kesempatan tersebut betul-betul dimanfaatkan oleh oposisi. Bahkan jauh-jauh hari, semenjak mendapati kenyataan bahwa kelompok mereka telah gagal--termasuk mencoba melakukan upaya hukum ke MK--kelompok ini terus bergerilya. Mereka merasa masih punya kesempatan mengulangi upaya yang gagal itu pada lima tahun mendatang. Dan upaya untuk "merebut" kesempatan itu mereka lakukan sejak awal.

Bahkan terasa sekali kesan, pihak oposisi yang sudah "kebelet" ini, ingin memperoleh yang mereka dambakan itu secepatnya. Kalau boleh "hari ini" juga mereka sudah merengkuhnya. Kalau bisa secepatnya, kenapa harus menunggu lima tahun lagi? Apalagi mengingat usia yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Mungkin demikian gejolak batin mereka. Tidak asal duga, sebab nyatanya memang begitulah. Pagi-pagi sekali mereka sudah berkoar-koar "ganti presiden". Sebelumnya, isu-isu murahan dan menyesatkan seperti "PKI bangkit lagi" mereka kumandangkan di mana-mana. Untuk lebih meyakinkan klaim ini, stiker-stiker gambar/lambang PKI ditempel di beberapa tempat. Saya pernah melihatnya tertempel di mobil seseorang. Dan pemilik mobil yang ketiban "sial" ini pun dihadang, lalu dituduh sebagai anggota PKI. 

Atau ada sekelompok orang yang melakukan aksi demo yang diikuti pula olah anak-anak kecil. Mereka membawa spanduk, berorasi, sambil membakar bendera berwarna merah bergambar lambang PKI. Orang yang cerdas pasti bertanya-tanya dari mana bendera itu diperoleh? Kalau PKI memang bangkit dan punya jutaan pengikut, pasti ada markas dan kantornya. Dan kalau sudah bangkit, pasti banyak bendera mereka yang bisa "disita" dan dibakar. Ini kok cuma satu. Disablon di mana itu bendera? Jangan-jangan yang menyablon pun dituduh PKI? Hihihihihihihi...

Begitulah antara lain sepak terjang pihak oposisi yang bodoh. Asal demo, asal tuduh, sebar fitnah dan hoax secara membabi-buta. Padahal babi tidak ada yang buta, melek semua. Heheheh... 

Kebodohan grup oposisi ini semakin nyata dengan statemen-statemen yang asal-asalan terlontar. Mengkritik infrastruktur-lah, mengecam jumlah hutang luar negeri yang padahal sudah menumpuk sejak pemerintahan-pemerintahan sebelumnya-lah. Lah lah lah...  

Yang paling menghebohkan tentu yang terjadi pada awal Oktober nan kelabu, di mana salah seorang srikandi oposisi tampil babak-belur! Sandiwara dan skenario ini pun terbongkar dengan telak. "Kalau di pihak oposisi itu ada satu-dua orang saja yang pintar, tak mungkinlah mereka memainkan sandiwara yang sangat rendah mutunya tersebut," cetus seseorang kawan di warung kopi. "Jadi maksud kau, di pihak oposisi sana tidak ada orang yang pintar satu pun?" respon pemilik warung, yang di tahun politik ini jadi tertarik menonton siaran debat politik di televisi. "I don't wanna talk about it..." jawab yang ditanya sambil bersenandung, penggemar Rod Steward. Tak ada yang ikut nyanyi.

Jika kita mengikuti sepak-terjang oposisi selama empat tahun terakhir, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kawanan ini menampilkan permainan yang bodoh, bukan cerdas. Atau dengan istilah telak, sesuai konteks artikel ini, mereka itu oposisi yang bodoh. Dan hal ini sangat disayangkan dan disesalkan sebenarnya. Padahal semestinya mereka bisa berlakon sebagaimana layaknya oposisi yang cerdas dan berkelas dengan mengkritik kebijakan pemerintah yang dipandang tidak bagus. Sambil mengkritik tentu pula harus dibarengi dengan solusi atau saran yang baik dan bersifat membangun. Sebab yang namanya kritik itu harus membangun. Dan begitulah oposisi yang cerdas.

Namun berhubung oposisi kita ini saban hari, tiap minggu, ganti bulan ke tahun, tahunya hanya mencela dan mencemooh kinerja pemerintah, ya jangan salahkan jika tim penilai yang terdiri dari rakyat Indonesia dan dunia internasional memberikan predikat sebagai oposisi yang bodoh. Repot aja kok gitu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun