Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merawat Pikiran

15 Januari 2017   23:54 Diperbarui: 16 Januari 2017   00:08 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kau ciptakan malam, tapi kubuat lampu,

Kau ciptakan lempung, tapi kubentuk cupu

Kau ciptakan gurun, hutan dan gunung,

Kuhasilkan taman, sawah dan kebun

Salah satu bait puisi Mohammad Iqbal di atas menunjukkan betapa pentingnya proses berpikir yang melaluinya manusia sanggup mengaktualisasikan diri. Aktivitas semisal membuat lampu, membentuk cupu, mengolah kebun—di situlah teknologi ditemukan, dan untuk itu akal dikerahkan.

Sejarah Berpikir

Memang, agak konyol kalau ada pertanyaan, “kapan pikiran itu dimulai”? Atau “dari mana datangnya pikiran”? Untuk mengindari kegelisahan jawaban atas pertanyaan seperti di atas, perlu dipahami seperti apa dan bagaimana sesuatu disebuat sebagai “proses berpikir”. Paul Budi Kleden dalam bukunya Aku yang Solider, Aku dalam Hidup Berkaul(Maumere: Ledalero, 2002, hlm. 20), mendefinisikan berpikir sebagai “sebuah proses memadukan elemen-elemen pengalaman ke dalam sebuah struktur dan menemukan serta menarik garis-garis penghubung antarberbagai elemen itu. Penggarisan atau pemaduan itu selalu mengandaian sebuah horison bersama”.

 Selanjutnya Paul Budi menulis, “Berpikir adalah juga proses mempertanyakan, memperhatikan horison itu sendiri, mempertanyakan kepentingan dan nilai yang didukung dan diwakilinya”. Pengertian tersebut cukup jelas memberikan awasan bahwa berpikir itu sebuah aktivitas ilmiah, bukan sekadar mengkhayalkan sesuatu semata. 

Di sana, ada unsur kritis dan daya aktif sekaligus kontemplatif. Ketika saya berpikir, artinya saya menciptakan relasi antara apa yang saya cerna dalam otak dengan kenyataan konkret yang saya alami. Berpikir seperti itu menghindarkan manusia dari kecenderungan untuk menerima saja apa yang ada tanpa reaksi. Di tengah membanjirnya informasi dan perkembangan dunia teknologi yang memungkinkan manusia kehilangan sikap kritis, berpikir menjadi begitu penting.

Dalam sejarah pemikiran Barat, istilah pencerahan (aufklarung) oleh Immanuel Kant, dipahami sebagai “Ausgang aus der selbsterverschuldeten Unmundigkeit”, pembebasan manusia dari ketergantungan, ketidak-matangan yang sering diciptakan sendiri. Latar belakang lahirnya konsep seperti itu dilandasi oleh ketegangan semasa abad pertengahan dan skolatisisme. Sebuah masa di mana tampil begitu banyak pengarang Gereja dan apologet. Secara singkat, dapat disimpulkan bahwa para pemikir Kristen pada abad ini percaya akan suatu revelasi ilahi yang definitif di mana Allah adalah penentu dan pusat gerak manusia (teosentrisme). Imbasnya jelas: gereja dilihat sebagai penampakan Allah di bumi (Roma locuta cause finite est—Roma dan otoritasnya adalah benar satu-satunya). Sejak teologi Thomas Aquinas, otoritas agama dikukuhkan di atas apa pun dan iman adalah panglima bagi akal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun