Oleh: A. K. M. Wattiheluw
I. Pendahuluan: Di Balik Angka-Angka yang Memantik Amarah
Polemik mengenai kenaikan gaji dan tunjangan pejabat negara di Indonesia telah menjadi isu yang berulang, membangkitkan gelombang kritik yang tidak hanya didasarkan pada besaran angka, melainkan pada ketidakselarasan mendalam yang terasa di tengah masyarakat. Di saat jutaan warga masih berjuang di bawah garis kemiskinan, kebijakan yang cenderung ekspansif ini memaparkan jurang pemisah yang mencolok antara kesejahteraan elit dan kondisi riil rakyat. Realitas ini semakin diperkuat oleh data-data ekonomi makro yang menunjukkan tantangan serius, seperti proyeksi pertumbuhan ekonomi Bank Dunia yang dipangkas menjadi 4,7% pada Juni 2025. Kontras ini, yang diperparah oleh fakta bahwa 23,85 juta penduduk masih berada di bawah garis kemiskinan per Maret 2025, bukan sekadar masalah diskresi fiskal, melainkan cerminan dari kegagalan tata kelola, erosi legitimasi politik, dan komitmen yang dipertanyakan terhadap keadilan sosial.
Laporan ini beranjak dari sebuah pertanyaan fundamental: mengapa teori adequate remuneration---gagasan bahwa gaji yang memadai dapat mencegah korupsi---telah gagal di Indonesia? Analisis ini tidak menempatkan kegagalan tersebut sebagai anomali moral individu, melainkan sebagai manifestasi dari penyakit sistemik yang lebih dalam. Untuk mengurai kompleksitas ini, laporan ini menggunakan kerangka filosofis teori keadilan John Rawls, yang mengonsepkan keadilan sebagai kewajaran (
fairness) dan berfokus pada bagaimana institusi-institusi sosial mendistribusikan hak, kewajiban, dan manfaat secara adil. Lensa Rawlsian ini relevan secara unik karena melampaui himbauan etis dan menjangkau ranah keadilan struktural, mengevaluasi tidak hanya hasil dari sebuah kebijakan, tetapi juga proses di balik pengambilan keputusannya.
II. Menelisik Mitos Gaji Tinggi: Ketika Data Empiris Bicara
Premis di balik teori adequate remuneration sejatinya memiliki niat baik: dengan menjamin kesejahteraan finansial yang memadai, pejabat akan terbebas dari godaan korupsi dan dapat fokus melayani publik. Namun, penerapannya di Indonesia menunjukkan hasil yang sangat bertolak belakang. Dokumen ini menyimpulkan bahwa teori ini telah gagal secara empiris dan telah menjadi instrumen untuk
legalized exploitation (eksploitasi yang dilegalkan).
Data faktual dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi bukti telak yang membantah premis dasar ini. Meskipun gaji dan tunjangan pejabat terus meningkat, korupsi tetap merajalela. Sejak tahun 2024, KPK telah menjerat 363 anggota legislatif dan 201 kepala daerah. Angka-angka ini menunjukkan bahwa insentif finansial tidak secara otomatis menciptakan integritas. Masalahnya terletak pada kegagalan struktural, bukan sekadar ketidakcukupan gaji.
Kegagalan penerapan teori ini juga memicu fenomena yang dikenal sebagai mentalitas rent-seeking. Alih-alih melihat posisi mereka sebagai amanah untuk melayani rakyat, kebijakan gaji yang tidak proporsional dan kenaikan tunjangan yang terkesan sepihak berisiko memperkuat kecenderungan pejabat untuk melihat negara sebagai sumber pendapatan pribadi yang dapat dieksploitasi. Fokus mereka beralih dari kinerja dan pelayanan publik menuju lobi-lobi politik dan perburuan rente, yang secara fundamental merusak etos birokrasi dan etika pelayanan publik. Dalam kerangka Rawlsian, mentalitas ini merupakan ancaman serius karena mengubah tujuan institusi sosial dari distribusi yang adil menjadi sebuah arena untuk persaingan kepentingan pribadi.
Berikut adalah rekapitulasi data empiris yang menyingkap kegagalan tersebut.