Mohon tunggu...
HANNA SAJADIAH
HANNA SAJADIAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa yang biasa-biasa saja.

Senang berpetualang di alam bebas atau berselancar melalui kata-kata dalam setiap lembaran buku yang saya baca.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Fujinkai dan Jugun Ianfu: Perempuan Dalam Dua Sisi "Koin" Milik Jepang

30 Juni 2023   23:00 Diperbarui: 8 Juli 2023   00:13 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keberadaan Fujinkai yang seolah menjadi secercah cahaya hangat nan terang dalam gua kebuntuan generatif yang telah lahir lebih dulu dari Nippon sebagai mukjizat bagi feminisme dan pergerakan wanita di masa itu, ironisnya malah bertolak belakang dengan bagaimana Jugun Ianfu menjadi sebuah “komoditas” yang dengan jelas diketahui oleh Kekaisaran Jepang. Jugun Ianfu bahkan menjadi bagian dari kesejahteraan tentara yang terjun ke medan perang.

Jugun Ianfu merupakan sebutan bagi perempuan-perempuan yang menyediakan hiburan bagi tentara-tentara Jepang di sepanjang daerah yang diduduki Jepang. Hiburan yang disediakan bukanlah sandiwara jenaka atau nyanyian merdu pengantar tidur bersama dongeng-dongeng yang lembut. Hiburan yang dimaksud dan dikenakan pada para Jugun Ianfu sebagai kewajiban serta tujuan utama kehadiran mereka di dunia adalah hiburan dalam bentuk pelepasan hasrat seksual tentara Jepang.

Jugun Ianfu tidak direkrut secara sukarela. Bukan pula hadir dari kalangan yang memang telah menjadi pekerja di dalam bidang ini. Jugun Ianfu ditarik secara paksa oleh Nippon

Dijadikan pemuas hawa nafsu secara paksa, bahkan sebagian besar tak mengetahui bahwa diri mereka dibawa ke barak-barak perang bukan untuk membantu tenaga medis atau juru masak di dapur. Kekaisaran seolah melanggengkan tangisan demi tangisan memilukan perempuan-perempuan yang kebanyakan diculik paksa atau direkrut dengan kobohongan manis di bibir perekrut mereka dengan adanya undang-undang pelegalan praktik pelacuran dengan sebutan kosho sedo.

Perempuan-perempuan yang malang ini bahkan memiliki tempat sendiri di barak-barak militer Jepang. Tempat ini disebut ianjo. Tugas mereka berpusat di ranjang dan rayuan yang tak pernah sudi mereka berikan pada prajurit yang telah merebut tanah air mereka. 

Sebutan teishintai yang berarti “barisan sukarela penyumbang badan” bagi para perempuan ini di dalam arsip-arsip resmi militer Jepang, seolah mengecilkan kedudukan mereka yang juga manusia. Objektifikasi perempuan di masa pendudukan Jepang selama Perang Dunia II dan Perang Asia-Pasifik berlangsung, menyisakan luka mendalam bagi para perempuan yang menjadi korban dari praktik ini.



Eksistensi Jugun Ianfu yang mereduksi peranan perempuan, benar-benar bertolak belakang dengan kesan yang diberikan oleh Fujinkai sebagai sebuah organisasi yang mewadahi pemberdayaan perempuan di dalam berbagai bidang kerja yang didominasi oleh laki-laki. Dua mata Jepang ini menunjukkan betapa kejamnya sebuah propaganda. Banyak perempuan, terutama yang masih belia usianya, yang memercayai bahwa mereka dibawa ke barak-barak militer untuk membantu perjuangan prajurit Jepang dalam berperang. 

Kenyataan yang pahit justru mereka terima. Kenyataan bahwa bayang-bayang akan betapa pahitnya perjuangan mereka bertahan di barak-barak militer sebagai objek pemuas hawa nafsu bagi prajurit-prajurit Jepang, bahkan terbawa hingga masa setelah kekalahan mengantam Jepang melalui bertamunya Little Boy (6 Agustus 1945) dan Fat Man (9 Agustus 1945) ke Kota Hiroshima dan Nagasaki.

Eksistensi Fujinkai memang telah akrab dan tidak disembunyikan keberadaanya. Namun, kehadiran Jugun Ianfu di dalam kaleidoskop perang yang dilalui Jepang hingga tahun 1945, baru dikelupas kulitnya 33 tahun setelah pertumpahan darah di sepanjang daerah jajahan Jepang selesai. Bagi para penyintas yang berhasil melalui perihnya Jugun Ianfu, pengakuan mereka atas apa yang benar-benar terjadi di barak militer Jepang, merupakan pengakuan atas aib mereka sendiri. Kesaksian begitu sulit keluar. Begitu juga dengan maaf yang tak pernah disampaikan secara tulus oleh Jepang atas kejahatan yang tak akan pernah sembuh oleh jalannya waktu di dunia. Dari dua sisi "koin" milik Jepang ini, Fujinkai seolah menjadi penyamaran bagi buruknya perlakuan Jepang pada perempuan di masa silam.

SUMBER & REFERENSI:

Toer, P. A. (2007). Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer. KPG.
Rahma, A. D., Suswandari, S., & Naredi, H. (2020). Jugun IANFU: Kekerasan seksual Terhadap Perempuan Pada Masa pendudukan Jepang di jawa Barat Tahun 1942-1945. Chronologia, 1(3), 169–182. https://doi.org/10.22236/jhe.v1i3.4731
Mustikawati, C. (2015). Pemahaman Emansipasi wanita. Jurnal Kajian Komunikasi, 3(1), 65. https://doi.org/10.24198/jkk.v3i1.7395

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun