Maraknya tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia baik oleh orang-orang dari lembaga pemerintah maupun swasta sudah menjadi rahasia umum di masyarakat. Dilansir dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama periode tahun 2014-2019 terdapat 886 kasus tindak pidana korupsi dengan berbagai jenis perkara. Pada beberapa penelitian juga menyatakan bahwa korupsi banyak terjadi di negara berkembang. Indonesia termasuk dalam negara berkembang.
Korupsi belum memiliki definisi yang otoritatif, sehingga terdapat beragam definisi yang bermunculan dari para akademisi karena faktanya korupsi dinilai memiliki konsepsi sebagai bentuk evaluasi dari suatu peristiwa, bukan deskripsi peristiwa.
Namun, sejauh ini terdapat penelitian yang mendefinisikan korupsi secara umum adalah sebagai bentuk kurangnya integritas. Kata Integritas berhubungan dengan tanggung jawab, kejujuran, dedikasi, prinsip dan setiap kata sifat yang bermakna positif lainnya. Integritas pada diri individu adalah laiknya sebuah nurani.
Ketika nurani tersebut tercemar bahkan rusak, maka komponen yang ada dalam nurani juga akan rusak dan akhirnya mempengaruhi semua yang berhubungan dengan nurani yakni etika dan tingkah laku. Etika dan tingkah laku yang dihasilkan cenderung menyimpang dari aturan, norma, maupun tradisi atau kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Fenomena ini tidak melulu terjadi pada para “pemilik kepentingan” yang berjenis kelamin laki-laki, namun juga perempuan.
Bentuk kurangnya integritas tersebut dapat menggerogoti manusia tanpa melihat gender atau jenis kelamin seseorang, namun dapat menggerogoti individu yang tidak memiliki ketetapan dan keteguhan pada iman, hati, dan prinsip kebaikan dan kebenaran terhadap aturan kehidupan.
Korupsi dikenal juga dengan sebutan “white collar crime” yang memiliki arti kejahatan berkerah putih.
Makna dari kalimat tersebut adalah pelaku tindak pidana korupsi merupakan orang-orang yang memiliki kuasa, wewenang, dan pengaruh yang digambarkan seperti orang-orang yang melakukan pekerjaannya dengan menggunakan seragam kemeja putih atau dengan kata lain orang-orang “elite”.
Banyak orang menggunakan kata “bertahan hidup” sebagai tameng untuk membenarkan perilaku korupsi, sekalipun hal tersebut merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan. Sedangkan faktanya, banyak sekali dampak yang dihasilkan dari tindakan korupsi ini, terutama pada bidang perekonomian.
Ketika banyak terjadi korupsi di suatu negara, kondisi pendapatan per kapita penduduk negara tersebut secara tidak langsung ikut terpengaruh karena terganggunya sistem perekonomian yang melibatkan banyak aspek termasuk bisnis, politisi, dan birokrasi.
Dengan terganggunya aspek-aspek tersebut maka membuat kelompok masyarakat yang sedang berusaha untuk meningkatkan angka kemakmuran hidupnya menjadi terhambat karena ditekan oleh birokrasi negatif yang hanya condong pada beberapa kelompok kepentingan saja. Jika dilihat dan dinilai dari dampak-dampak yang timbul di seluruh pelosok daerah di Indonesia, dampak yang timbul sebagai akibat dari tindakan korupsi ini lebih kejam dibanding tindak pidana lain seperti pencurian, penipuan, dan lain sebagainya karena benar-benar mempengaruhi kesejahteraan masyarakat.
Sebagai seorang manusia dan salah satu Aparatur Sipil Negara (ASN), pegawai pemasyarakatan juga memiliki kemungkinan untuk terpengaruh budaya korupsi yang seperti sudah mendarah daging di lingkungan birokrasi Indonesia.