Mohon tunggu...
Hanifatul Hijriati
Hanifatul Hijriati Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang suka menghayal

I am an ordinary girl who tries to be an undefeated girl

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Glorifikasi Pendidikan di Tengah Kesenjangan

6 Juli 2020   08:25 Diperbarui: 27 Januari 2021   05:20 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 Di sekolah pinggiran, dengan peserta didik yang rendah motivasi belajarnya, energi guru lebih banyak habis untuk menanamkan nilai-nilai tanggung jawab. Ketika guru dipaksa menggunakan teknologi informasi terkini demi mengejar reputasi guru yang tidak tertinggal secara teknologi, hasilnya adalah miskonsepsi pada peserta didik. Informasi tidak terserap dengan baik bahkan tidak masuk memori siswa.

Sebagai contoh pengenalan sebuah materi, guru mencoba menggunakan video animasi pendek untuk merangsang siswa berpikir. Video ini juga memiliki konten menghibur agar siswa tidak bosan. Animasinya pun empat atau bahkan lima dimensi. Sebut saja materinya mengenalkan unsur grammatikal bahasa.

Hasilnya siswa ternyata lebih tertarik untuk menonton animasinya saja tanpa menyerap informasi pengetahuan yang ada. Sebagai siswa dengan motivasi belajar rendah dan sedang, melihat sesuatu yang merupakan hasil dari teknologi canggih, akan memilih untuk menikmatinya saja seraya terkagum-kagum.

Sama halnya seperti pengalaman saya sendiri. Dengan menggunakan teknologi terkini yang memuat unsur hiburan saya harap siswa senang, namun ternyata banyak siswa yang tertegun atau bahkan berisik.

Alih-alih, siswa justru lebih banyak berkomentar tentang tampilan luar dari apa yang ditayangkan. Alhasil transfer ilmu pengetahuan menjadi nihil adanya.

Saya kemudian menggunakan teknik yang berbeda tanpa menggunakan teknologi informasi. Saya memakai gambar besar-besar seukuran kertas karton yang saya tempel di tembok kelas. Hasilnya siswa menjadi lebih bersemangat, transfer ilmu lebih berhasil dilakukan.

Di masa pandemi, saya pertama-tama mencoba menggunakan Google Classroom yang saya kombinasikan dengan penggunaan google form. Karena aplikasi ini yang paling umum dipakai.

Di awal penggunaan saya sudah mengalami kendala. Ada beberapa siswa yang kesulitan sinyal, belum lagi android yang digunakan siswa ada yang memiliki keterbatasan kapasitas, ada yang gawai androidnya rusak dan permasalahan kuota tak memadai. Aplikasi juga semakin lambat karena banyaknya pengguna.

 Saya sempat berpikir untuk berpindah ke aplikasi lain, namun jika itu saya lakukan maka saya merasa tidak berlaku adil bagi siswa saya yang mengalami permasalahan fasilitas. Setelah saya pertimbangkan baik-buruknya saya memutuskan pengumpulan tugas melalui Whatsapp dengan tulisan tangan.

Untuk latihan saya mengandalkan google form karena quizzi banyak yang tidak dapat mengaksesnya. Apakah efisien? Ya efisien saja. Karena Whatsapp bisa dipakai meskipun kuota habis atau dalam keadaan menipis. Jika yang dimaksud beban kerja semakin berat, saya pikir tidak juga. Karena itu sudah menjadi tugas guru.

Menulis jawaban secara manual saya anggap sebagai hasil pekerjaan otentik siswa meskipun sumber jawaban bisa saja mudah didapat dari internet. Jika teknik seperti ini dianggap tidak efisien dan modern, maka penggunaan komputerisasi akan tidak dapat terelakkan dari sistem copy paste pekerjaan siswa yang terkesan formalitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun