Setiap 1 Mei, jalanan kota-kota besar di Indonesia dipenuhi lautan buruh. Tuntutan mereka terus berulang: upah layak, perlindungan kerja, dan keadilan sosial. Namun di balik gegap gempita Hari Buruh, pertanyaan mendasar tetap relevan: apakah buruh Indonesia telah membentuk diri sebagai kelas sosial yang solid dalam arti sosiologis dan politis?
Secara ekonomi, buruh jelas merupakan bagian dari struktur kelas dalam sistem kapitalisme. Mereka tidak memiliki alat produksi dan menggantungkan hidup dari menjual tenaga kerja kepada pemilik modal. Dalam istilah Karl Marx (1848), buruh adalah kelas dalam dirinya sendiri (class-in-itself). Namun untuk menjadi kelas untuk dirinya sendiri (class-for-itself), dibutuhkan lebih dari sekadar posisi ekonomi, yakni kesadaran kolektif, pengorganisasian, dan perjuangan politik bersama.
Di titik inilah buruh Indonesia menghadapi tantangan besar.
Gerakan yang Terfragmentasi
Pertama, buruh di Indonesia sangat terfragmentasi. Data Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan terdapat lebih dari 7.000 serikat pekerja, dengan puluhan konfederasi di tingkat nasional. Serikat buruh semestinya menjadi wadah artikulasi kepentingan kelas pekerja, namun dalam praktiknya justru kerap terjebak dalam rivalitas internal, ego sektoral, dan perebutan legitimasi.
Padahal secara historis, serikat buruh adalah alat utama pembentukan kesadaran kelas dan perubahan sosial. Di banyak negara, serikat buruh telah menjadi kekuatan politik yang menentukan arah kebijakan ketenagakerjaan. Di Indonesia, peran itu belum optimal. Banyak serikat masih terjebak dalam pendekatan reaktif dan seremonial: turun ke jalan saat isu mengemuka, tapi minim konsistensi dalam pengawalan kebijakan dan pendidikan politik buruh.
Kedua, kesadaran kelas buruh belum sepenuhnya tumbuh. Banyak buruh memandang relasi kerja secara individual, bukan sebagai bagian dari struktur ekonomi-politik yang menciptakan ketimpangan. Nilai-nilai seperti meritokrasi, kompetisi, dan individualisme masih dominan di ruang sosial buruh, membuat solidaritas kelas sulit terbentuk.
Ketiga, keterlibatan politik buruh masih sangat terbatas. Upaya membangun partai buruh belum membuahkan hasil signifikan di pemilu. Sementara itu, partai-partai besar sering kali hanya menjadikan isu buruh sebagai alat kampanye sesaat, tanpa membangun komitmen jangka panjang terhadap agenda struktural dunia kerja.
Hegemoni dan Kesadaran
Dalam konteks ini, pandangan Antonio Gramsci (1929) menjadi penting. Bagi Gramsci, dominasi kelas penguasa tidak hanya bersifat ekonomi, tapi juga kultural dan ideologis. Buruh Indonesia masih berada di bawah hegemoni ideologi dominan yang membuat mereka sulit menyadari posisi kelasnya. Kesadaran kelas tidak lahir secara otomatis, tapi harus dibangun melalui pendidikan politik, pengalaman kolektif, dan pengorganisasian jangka panjang.