Erik Olin Wright (1997) menambahkan bahwa kelas buruh bukan entitas homogen. Perbedaan keterampilan, status kerja, dan sektor membuat mereka berada dalam posisi kelas yang saling bertumpang tindih (contradictory class locations). Di Indonesia, buruh pabrik, buruh outsourcing, buruh digital, dan buruh informal menghadapi kondisi dan orientasi perjuangan yang berbeda.
Sementara itu, E. P. Thompson (1963), dalam The Making of the English Working Class, menekankan bahwa kelas sosial terbentuk bukan hanya oleh struktur, tetapi juga oleh pengalaman historis bersama. Buruh Indonesia masih membawa trauma represi politik era Orde Baru dan belum cukup mengalami fase historis kolektif yang bisa memicu bangkitnya kesadaran kelas secara luas.
Namun harapan tetap ada. Munculnya komunitas buruh kreatif, jaringan advokasi berbasis teknologi, serta gerakan buruh digital menunjukkan bahwa benih-benih kesadaran dan solidaritas sedang tumbuh, meskipun belum sepenuhnya matang.
Buruh sebagai Subjek Sejarah
Buruh Indonesia hari ini adalah kelas potensial yang belum menjadi kelas nyata dalam arti sosiologis dan politis. Mereka belum sepenuhnya menjadi kekuatan historis yang mampu membentuk agenda bangsa. Untuk itu, dibutuhkan lebih dari sekadar aksi tahunan. Yang diperlukan adalah konsolidasi organisasi, transformasi peran serikat buruh menjadi lokomotif perubahan struktural, serta partisipasi aktif dalam sistem politik dan legislasi ketenagakerjaan.
Indonesia tidak kekurangan buruh. Yang dibutuhkan adalah buruh yang sadar kelas, solid dalam perjuangan, dan berani mengambil peran sebagai subjek sejarah. Tanpa itu, buruh hanya akan terus menjadi aktor pinggiran dalam panggung besar ekonomi-politik nasional.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI