Mohon tunggu...
M. Hanif Dhakiri
M. Hanif Dhakiri Mohon Tunggu... Buruh - Aktivis

Orang biasa yang berusaha menjadi luar biasa untuk orang lain dan bangsa. . . Menteri Ketenagakerjaan RI 2014-2019. Wakil Ketua Umum DPP PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) 2019-2024 Bidang Ideologi dan Kaderisasi. Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB IKA-PMII). . . Live well, rule well, die well.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Balas Dendam Kemiskinan

1 Maret 2020   01:01 Diperbarui: 1 Maret 2020   06:16 3544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi. Sumber: Pixabay

Hari ayah adalah rutinan keluarga yang aku sukai. Itu kesempatan menghabiskan waktu berdua dengan Bunga, anak bungsuku yang sekarang kelas 4 Sekolah Dasar. Aku telah bersepakat dengan istri dan keempat anakku bahwa hari minggu pada minggu terakhir setiap bulan adalah hari khusus untuk Bunga dan aku. Sebagai hari khusus, aku dan Bunga bisa menghabiskan waktu seharian suka-suka kami berdua.

Bunga mendapatkan keistimewaan karena dia satu-satunya anggota keluarga yang masih kecil. Itu bukan monopoli dia sebenarnya. Ketiga kakaknya juga punya keistimewaan yang sama, punya hari ayah seperti Bunga. Dulu, sebelum masing-masing punya adik. Keistimewaan berakhir saat mereka punya adik dan adiknya terus bertumbuh sebagai anak-anak.

Sebagai pejabat tinggi di kementerian, waktu yang kumiliki lebih banyak tersita untuk tugas-tugas negara. Aku sudah berusaha keras membagi waktu untuk keluargaku. Sebaik-baiknya, sebisanya. Setidaknya satu dari empat akhir pekan dalam setiap bulan adalah waktu untuk keluarga. Tapi pada kenyataannya sering meleset. Akhir pekanku lebih sering tersita oleh pekerjaan.

Saat hari ayah tiba, aku membawa Bunga ke berbagai tempat yang ia suka. Terkadang kami main gelembung atau sepeda di taman kota. Kadang jalan-jalan di mall untuk sekedar makan atau ke toko buku. Kadang juga kami pergi ke tempat-tempat permainan anak yang banyak tersebar di Jakarta. Sesekali kami mengunjungi museum atau tempat-tempat bersejarah.

Tetapi kemanapun pergi, itu pilihan dari Bunga sendiri. Sebagai ayah, aku hanya menawarkan pilihan-pilihan. Aku sekaligus bermaksud mengajari anakku mengambil keputusan dalam hidup. Menurutku, hidup adalah pilihan. Diperlukan keberanian agar orang bisa memilih dan mengambil keputusan dengan tepat. Tentu berikut konsekuensi yang mengiringi setiap pilihan yang diambil.

"Bunga mau kemana hari ini, sayang", tanyaku pada si bungsu.

Aku sangat menyayangi gadis kecil ini. Si bungsu dan satu-satunya anak perempuanku dari empat bersaudara.

Masa kecilku dulu susah. Aku terlahir dari keluarga yang miskin tapi pekerja keras. Sedikit sekali aku memiliki waktu untuk bermain. Sedari kecil, aku sudah dibiasakan membantu orang tua mengurus ternak kami yang tak seberapa. Mencari rumput, menjadi kernet tukang batu bagi bapakku saat dia bekerja sebagai buruh bangunan, atau membantu ibuku berjualan tempe di kampung.

Praktis, aku menemukan masa kecilku dalam kelelahan dan menjadi saksi rata-rata warga kampungku yang miskin dan menderita. Tapi hal itu pula yang membentuk diriku menjadi pribadi yang ulet dan kritis pada keadaan. Hingga akhirnya, karena jerih payah orang tuaku, aku bisa menjadi sarjana dan berkarir di pucuk pimpinan kementerian.

Berbeda dengan aku, Bunga jelas anak pejabat tinggi negara. Aku hanya anak orang kampung yang miskin. Boro-boro dibelikan mainan, untuk bisa makan agak enak saja keluargaku harus menunggu undangan selamatan dari tetangga yang lebih berpunya.

Di kampungku, diundang selamatan artinya akan mendapat nasi berkah dengan sayur dan lauk-pauk yang membuat lidah kecilku bergoyang. Masih beruntung, dan aku bersyukur karenanya, kedua orang tuaku sangat percaya pada pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun