Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Serangkaian Peristiwa yang Menyorot Kejaksaan Agung, Hanya Kebetulan?

21 September 2020   16:24 Diperbarui: 21 September 2020   16:33 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung Kejaksaan Agung (Foto: breakingnews.co.id - GOOD INDONESIA) 

Kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari mencuat menebar di jagad berita ketika mulai disebut2 mempunyai hubungan kedekatan dengan Anita Kolopaking pengacara Joko Soegiarto Tjandra. 

Selama  bulan Agustus 2020 baik media sosial maupun media mainstream dihiasi berita tentang sosok dan kiprahnya Pinangki. Kisah Jaksa Pinangki makin membahana karena dikaitkan dengan sosok populer lainnya Joko Soegiarto Tjandra buronan kasus cessie Bank Bali. 

Bukan sekedar kecantikan yang membuat masyarakat terpukau, tapi profesi dan tingkahnya membuat publik ternganga. Sosok sekaliber Joko Tjandra bersedia menggunakan jasa Pinangki untuk menyelesaikan perkaranya di Mahkamah Agung dengan bayaran aduhai. 

Diduga Joko Tjandra merogoh konceknya 1 juta US dollar setara 14 miliar rupiah ditambah 10 juta US dollar atau setara 140 miliar rupiah apabila Pinangki sukses melakukan tugas illegal yang diembannya yaitu mengurus fatwa bebas Joko di Mahkamah Agung. 

Dugaan sementara uang yang bejibun banyaknya akan digunakan Pinangki untuk menyuap beberapa kalangan yang berkuasa baik yang di Kejaksaan Agung maupun di Mahkamah Agung. 

Kalau seandainya Pinangki punya jabatan yang mumpuni yang bisa membuat kebijakan, semua orang akan paham kenapa Joko Tjandra menggunakan jasa Pinangki. Tapi senyatanya Pinangki hanya seorang pegawai di Kejaksaan Agung dengan golongan IV dan mempunyai jabatan rendah. 

Apalagi untuk mengurus fatwa pembebasan Joko Tjandra tidak hanya selesai di Kejaksaan Agung tapi juga melibatkan lembaga agung lainnya, Mahkamah Agung.

Cepatnya perkara Pinangki diproses sehingga sudah bisa di sidang di Pengadilan Tipikor tanggal 23 September 2020 tidak mengundang apresiasi untuk Kejaksaan Agung (Kompas, 21 September 2020). Malah semakin membuat publik melemparkan kecurigaan bahwa kasus Pinangki sengaja dipercepat untuk dilokalisir dengan cara membatasi pemeriksaan saksi2 dalam rangka menyembunyikan kasus yang sebenarnya. 

Sejak awal kasus ini mulai disidik di Kejaksaan Agung telah menimbulkan syak wasangka spekulasi teori bahwa Pinangki hanya sekedar pion di lapangan dan ada "orang besar" bermain dibelakangnya. 

Dari awal masyarakat berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak hanya memberikan supervisi atas kasus Pinangki tapi justru seluruh kasusnya dilimpahkan dan ditangani KPK.  

Penanganan kasus Jaksa Pinangki oleh Kejaksaan Agung ibarat "jeruk makan jeruk", sulit sekali diharapkan untuk menuntaskan kasus terang benderang di gelanggang orang banyak. Dugaan adanya "orang kuat" Kejaksaan Agung terlibat akan membuat penyidik Kejaksaan Agung tidak bebas memeriksa perkaranya.

Hanya dengan sosok pegawai rendah Kejaksaan Agung yang bernama Pinangki  telah bisa menyedot perhatian seluruh rakyat Indonesia memfokuskan diri ke Kejaksaan Agung.

Kantor Kejaksaan Agung Terbakar.

Pada bulan yang sama, tepatnya tanggal 22 Agustus 2020 malam, gedung utama Kejaksaan Agung terbakar dengan hebat. Api dengan cepat melahap empat lantai gedung tersebut. Lantai 3 dan 4 tempat Jaksa Agung Muda Intelejen berkantor, lantai 5 tempat Jaksa Agung Muda Pembinaan berkantor dan lantai 6 Biro Kepegawaian hangus terbakar tanpa bersisa. 

Banyak masyarakat mengaitkan bahwa kebakaran berhubungan dengan kasus Jaksa Pinangki yang sedang ditangani Kejaksaan Agung. Kecurigaan masyarakat bahwa ada "orang kuat" Kejaksaan Agung di belakang kasus Pinangki yang mendasari pendapat bahwa kebakaran adalah upaya menghilangkan barang bukti. 

Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi langsung meredam rumor tersebut dengan menyatakan bahwa gedung utama Kejaksaan Agung bukan tempat penyimpanan berkas perkara (Kompas 26 Agustus 2020). Untuk sementara masyarakat meredup mengaitkan kasus kebakaran dengan kasus jaksa Pinangki setelah mendapat penjelasan Wakil Jaksa Agung tersebut.

Namun keterangan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam jumpa pers tanggal 17 September 2020, kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung bukan karena hubungan arus pendek listrik (korsleting). Kebakaran sengaja dibikin, penyidik berkesimpulan terjadi dugaan peristiwa pidana (Kompas, 18 September 2020). 

Nah lo. Api kecurigaan masyarakat yang mulai padam, bergejolak lagi karena hembusan angin dan tambahan bakar bakar hasil penyidikan polisi terhadap kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung. 

Alasan yang semula bahwa berkas perkara tidak disimpan di gedung utama tidak cukup lagi membuat masyarakat paham. Dugaan bahwa ada berkas yang sengaja dibakar karena lantai 3 dan 4 tempat berkantornya Jaksa Agung Muda Intelejen dan lantai 6 lokasi Biro Kepegawaian Kejaksaan Agung. Rasa curiga publik merasa bahwa ada keterkaitan musnahnya berkas bidang intelejen dan dokumen kepegawaian dengan kasus Jaksa Pinangki.

Publik menuntut kepada Polri agar diusut peristiwa pidana pembakaran gedung utama Kejaksaan Agung dengan lebih serius agar ditangkap pelakunya dengan segera. Mengetahui siapa pelakunya akan bisa mengungkap motivasinya melakukan pembakaran, sehingga jadi jelas apakah kebakaran ini masih bertautan dengan kasus jaksa Pinangki atau tidak.

Rancangan Undang-Undang Kejaksaan Yang Baru
 
Bulan September 2020  sedang dibahas Rancangan Undang2 Kejaksaan yang baru untuk merevisi  Undang2 Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, tindakan revisi ini merupakan inisiatif DPR (Kompas 19 September 2020)

Dalam rancangan revisi UU Kejaksaan yang baru nantinya Kejaksaan akan diberi kewenangan baru berupa kewenangan penyadapan seperti yang telah dipunyai KPK. Selama ini kewenangan KPK yang diberi kewenangan menyadap dalam menyelesaikan kasusnya membuat iri lembaga2 yang sejenis seperti Polri dan Kejaksaan.

Namun menurut beberapa pakar hukum Rancangan Undang2 Kejaksaan yang baru khususnya tentang penyadapan kebablasan. Kewenangan Kejaksaan dalam menyadap dilakukan seharusnya hanya dalam koridor pidana. Jika dilakukan diluar koridor itu, penyadapan rentan disalah gunakan demi kepentingan tertentu diluar penegakan hukum termasuk kepentingan politik.

Aturan tentang penyadapan diluar hukum tertera pada Pasal 30 (5) huruf g Rancangan revisi Undang2 Kejaksaan. Pasal ini berbunyi " Di Bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan melakukan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum yang meliputi penyadapan dan menyelenggarakan pusat monitoring."

Beberapa kalangan berpandangan bahwa tindakan penyadapan dalam proses pidanapun telah melanggar hak azasi manusia. Pemerintah dan DPR pun semula mengikuti arus pendapat tersebut, sehingga keluarlah UU 19 tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang2 nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, yang membatasi kewenangan penyadapan oleh KPK. 

Sejak berlakunya perubahan kedua UU KPK, berdasarkan Pasal 12B (1), dalam penyadapan KPK harus dapat izin tertulis dari Dewan Pengawas.  Publik yang  berseberangan dengan Pemerintah memprotes keras atas lahirnya UU tsb. 

Penyadapan untuk memberantas tindakan pidana korupsi yang luar biasa bukanlah melanggar hak azasi manusia. Melawan tindakan korupsi agar bisa memberantasnya memang harus melakukan upaya luar biasa, termasuk melakukan penyadapan. 

Adanya izin terlebih dahulu dari Dewan Pengawas, menurut publik merupakan upaya melemahkan taji KPK dalam memberantas korupsi. Publik melawan dengan keras dan massive, bahkan melakukan upaya hukum dengan mengajukan judicial review atas ketentuan UU tsb melalui Mahkamah Konstitusi. Semua upaya masyarakat gagal dan perubahan kedua atas UU KPK tetap berlaku sampai sekarang.

Sekarang sebaliknya terjadi, atas inisiatif DPR dibuat Rancangan UU tentang Kejaksaan yang baru. Entah dalam rangka rivalitas antara lembaga2 penyidik Korupsi (Kejaksaan dan KPK) atau tidak ada niat untuk tujuan membandingkan antara KPK dan Kejaksaan Agung. Tetapi yang jelas dalam revisi rancangan UU Kejaksaan diberi kewenangan baru berupa penyadapan. 

Alih2 melihat penyadapan bisa melanggar hak azasi manusia, malah dalam rancangan UU diberi kewenangan yang lebih besar dibanding KPK. Sikap DPR sungguh bertolak belakang ketika meloloskan perubahan kedua UU KPK yang membatasi kewenangan penyadapan oleh KPK dengan alasan harus ada kontrol. 

Malah dalam rancangan UU Kejaksaan,  DPR dalam rancangan revisi UU Kejaksaan memberikan kewenangan untuk melakukan  penyadapan dalam rangka untuk menjaga ketertiban dan ketentraman umum. Alasan "menjaga ketertiban dan ketentraman umum" sangat umum,  berpotensi jadi alasan "pasal karet" untuk bisa ditarik dengan sekehendak hati.

Pasal ini rawan untuk disalah gunakan karena cakupannya luas sekali. Sebagaimana kita ketahui Jaksa Agung dibawah otoritas dan bawahan Presiden langsung. Dengan adanya pasal ini, Presiden bisa2 akan tergoda untuk memakai Kejaksaan Agung untuk memberangus lawan2 politiknya dengan cara "menyadap" siapa saja yang diinginkannya.

Serentetan Peristiwa Relevan Makna?

Serentetan peristiwa yang terjadi dalam 2 bulan terakhir sejak Agustus, yaitu sejak kasus Jaksa Pinangki, Kebakaran gedung utama dan pembahasan revisi rancangan UU Kejaksaan yang baru, apakah rangkaian yang direkayasa untuk tujuan tertentu, atau hanya peristiwa kebetulan tanpa relevansi makna?

Kasus Jaksa Pinangki yang mulai disidangkan tanggal 23 September 2020 merupakan harapan pencerah melihat gelapnya kasus Pinangki. Harapan tertumpu kepada kecerdasan Majelis Hakim Tipikor menggali temuan yang lebih luas dan tidak berhenti dengan hanya melokalisir kasus sampai didiri Pinangki semata. 

Selain itu juga harapan disandarkan kepada penyidikan Polri terhadap kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung untuk menemukan pelakunya. Menangkap pelaku kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung akan bisa mengungkap tujuan dan motivasi melakukan pembakaran.

Semua hingar bingar kasus Pinangki dan kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung juga tidak seharusnya membuat masyarakat hanya terpaku dan fokus ke Kejaksaan Agung. Sementara revisi rancangan UU Kejaksaan Agung sedang dibahas di Senayan atas inisiatif DPR. 

Jangan sampai kasus Jaksa Pinangki dan kebakaran gedung utama Kejaksaan Agung mengalihkan perhatian terhadap pekerjaan DPR yang sedang merevisi UU Kejaksaan Agung. 

Ada pasal2 yang mengancam cara berdemokrasi Indonesia apabila rancangan UU Kejaksaan lolos begitu saja tanpa kontrol masyarakat. Kewenangan penyadapan yang akan dipunyai Kejaksaan Agung terlalu luas dan keluar dari upaya dari sistim pidana sehingga rawan bisa ditunggangi kepentingan politik.

Pertanyaan apakah semua rentetan kejadian yang hampir bersamaan waktunya dan  menjadikan Kejaksaan pusat perhatian, hanya sebagai peristiwa kebetulan belaka? Atau sebetulnya merupakan kejadian yang saling mengait relevan dengan sejumlah  makna?

Menjawab rasa ingin tahu untuk memenuhi logika sehat pertanyaan tersebut saat ini akan menemukan tembok tebal yang sulit ditembus. Mungkin "waktu" bisa menggerus tembok tebal seperti titik hujan menetes dan  menembus batu karang, sehingga sedikit demi sedikit dengan berangsur dapat membuka tabir, ada apa yang sebenarnya terjadi. Atau waktupun menolak jadi hakim yang bijak untuk mengadili rentetan kejadian tersebut menjadi transparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun