Mohon tunggu...
Surya Handika Rakhmat
Surya Handika Rakhmat Mohon Tunggu... Konsultan - Social Media Analyst

Kini hobi berlari, berupaya mengejar 10K di bawah 1 jam.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Era Modern Siapa Butuh Becak?

22 Januari 2019   19:23 Diperbarui: 22 Januari 2019   19:56 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Latar Belakang

Daerah Khusus Ibu kota Jakarta mempunyai sejarah panjang. Di umurnya yang sudah lebih dari 500 tahun, Jakarta tetap menjadi magnet bagi masyarakat Indonesia untuk berdatangan. Ada yang sekadar berkunjung melihat-lihat kemegahan gedung bertingkat, ada yang bertaruh nasib banting tulang, dan segala urusan lainnya sehingga membuat kota yang dulunya bernama Batavia ini menjadi terasa sesak.

Lebarnya jalan di ruas arteri tampak belum mampu menampung kendaraan yang berdatangan. Segala tetek bengek aturan sudah diterapkan pimpinan daerah ini untuk menanggulangi masalah tersebut. Transportasi umum pun telah digenjot untuk memenuhi hajat kepentingan orang kota. Meskipun, rata-rata yang memenuhi ruas jalan ibu kota ini bukan berasal dari Jakarta, tetapi dari daerah sekitarnya seperti Tangerang, Bekasi, Bogor, dan Depok.

Berbicara tentang transportasi umum, tentunya DKI Jakarta punya cerita tersendiri di kala belum banyak kendaraan bermotor berseliweran. Salah satunya becak. Kendaraan beroda tiga dengan pengemudi sekaligus mesinnya berada di belakang. Sedangkan, penumpangnya berada di depan dan dapat menampung sekitar dua orang.

Kata becak berasal dari dialek Hokkian, yaitu be chia, yang artinya kereta kuda. Berdasarkan beberapa catatan sejarah, becak diperkirakan diciptakan di Jepang sekitar tahun 1865. Namun bukan orang Jepang yang menciptakannya, melainkan orang Amerika yang bernama Goble yang kala itu menjabat pembantu di Kedutaan Besar Amerika Serikat. 

Dikutip dari Wikipedia, dalam catatan berjudul "Pen to Kamera" yang diterbitkan pada 1937, becak diciptakan oleh orang Jepang yang tinggal di Makassar bernama Seiko-san. 

Ia memiliki toko sepeda, namun penjualannya tidak sesuai dengan harapan. Seiko-san pun mencari cara agar tumpukan sepeda yang tak terjual dapat dikurangi dan kemudian terciptalah becak. Pada masa itu, becak lebih sering digunakan sebagai pengangkut barang. Namun seiring berjalannya waktu, becak kemudian lebih sering digunakan sebagai alat transportasi manusia.

Dalam waktu singkat, becak menjadi primadona. Hingga akhir 1950-an, ada sekitar 25 ribu hingga 30 ribu becak di Jakarta. Jumlah itu terus bertambah dan pada tahun 1966, jumlah becak di Jakarta mencapai 160 ribu unit. Karena membludaknya jumlah becak di ibu kota, Gubernur Ali Sadikin kemudian mengeluarkan instruksi larangan produksi dan beroperasinya becak di Jakarta. Jumlah becak yang tadinya mencapai 160 ribu pun berkurang drastis menjadi 38 ribu unit.

Sekitar tahun 1988, Gubernur Wiyogo Atmodarminto mengeluarkan Perda 11 Tahun 1988 yang melarang beroperasinya becak dan menetapkan kereta api, taksi, bus, dan angkutan roda tiga bermotor sebagai kendaraan resmi. Ia bahkan sempat berwacana untuk membuat becak-becak tersebut ke Teluk Jakarta. Namun, wacana itu gagal karena sulit terealisasi. Sejak saat itu, becak tidak bisa beroperasi dengan bebas di Jakarta.

Di era pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sejumlah tukang becak yang berasal dari Teluk Gong, Pademangan, Penjaringan, Cilincing, Koja, dan Tanjung Priok mendatangi Balai Kota dan meminta Ahok agar becak dapat beroperasi secara bebas di Jakarta.

Permintaan itu ditolak oleh Ahok. Sebab, larangan becak beroperasi di Jakarta sudah ada jauh sebelum ia menjabat sebagai gubernur. Dalam pasal 29 ayat 1 Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum dijelaskan; Setiap orang atau badan dilarang melakukan usaha pembuatan, perakitan, penjualan dan memasukkan becak atau barang yang difungsikan sebagai becak dan/atau sejenisnya; mengoperasikan dan menyimpan becak dan/atau sejenisnya; dan mengusahakan kendaraan bermotor/tidak bermotor sebagai sarana angkutan umum yang tidak termasuk dalam pola angkutan umum yang ditetapkan. 

Setelah puluhan tahun dilarang beroperasi, di bawah pemerintahan Gubernur Anies Baswedan, becak dapat kembali dioperasikan. Meski tidak dapat beroperasi secara bebas, becak dapat beroperasi di pemukiman dan kampung. 

Tidak hanya itu, becak juga nantinya akan dibuatkan jalur khusus yang dapat menghubungkan beberapa tempat wisata di Jakarta. Namun, kebijakan tersebut menuai protes di berbagai kalangan. Ketua DPRD DKI Jakarta, Edi Marsudi dengan tegas menolak keputusan tersebut. Edi meragukan jika tukang becak akan tertib bila diberi aturan sekalipun.

Dengan permasalahan tersebut dapat diambil benang merah bahwa polemik ini terjadi di kalangan tradisionalis dan modernis. Di mana tradisionalis ingin kembali memertahankan warisan transportasi becak seperti sedia kala, sedangkan modernis yang tidak ingin Jakarta tambah macet dengan kendaraan yang terlalu memakan jalan tersebut dan kecepatannya rendah.

Analisis Masalah

Sejumlah perdebatan dari pelegalan becak di ibukota membuat sebuah kelompok tersendiri. Komunikasi yang terlahir dari sebuah kebijakan tersebut, dipandang dari perspektif tradisionalisme dan modernisme. Tradisionalis yang coba untuk membawa warisan masa lalu, dengan kalangan modernis yang menolak untuk kembali ke masa lalu dan ingin bergerak maju ke depan seiring perkembangan zaman.

Saling lempar pandangan dikemukakan kedua belah pihak di media massa. Hal itu pun memantik sejumlah warga untuk bereaksi. Bisa dibilang, komunikasi antar keduanya memunculkan warna baru dalam kajian komunikasi antar agama dan budaya. Di mana peranan budaya dalam hal ini yaitu antara kalangan tradisionalis dan modernis.

Becak bisa dibilang merupakan budaya, karena kehadirannya sudah ada sejak lama dan bahkan pernah menjadi andalan. Seperti budaya pada umumnya, ada yang tergerus oleh perkembangan zaman bahkan tidak relevan lagi ada pula yang masih eksis memertahankan diri sebagai sebuah nilai. 

Menurut hemat penulis, budaya memang harus dilestarikan keberadaannya namun, perlu diperhatikan pula apabila terdapat masalah yang timbul seiring dengan budaya itu sendiri di zaman sekarang.

Kedua perspektif ini memerankan peran penting di mana salah satunya, tradisional, ingin memertahankan budaya warisan lama, sedangkan modern ingin meninggalkannya dan bergerak maju seiring perkembangan.

Tradisionalis Pertahankan Becak

Dalam kasus ini, para tradisionalis menganggap kendaraan becak perlu diadakan kembali. Seperti ucapan Gubernur DKI Jakarta saat ini, Anies Baswedan yang mengatakan ada potensi wisata yang bisa dimanfaatkan. Karena estetika tradisionalnya itu pula membuat becak memiliki daya tarik tersendiri di sektor pariwisata. Selain itu, kebutuhan masyarakat akan kehadiran becak dinilai masih tinggi. Apalagi untuk ibu-ibu yang membawa banyak barang belanjaan dari pasar mesti memerlukan becak.

Dari pandangan tradisionalis sendiri, budaya merupakan sebuah warisan yang harus dipertahankan keberadaannya. Kehadirannya tidak bisa dilepaskan begitu saja digantikan dengan teknologi yang lebih modern misalnya. Meski sudah tidak relevan, namun masih ada sejumlah kemungkinan untuk dilestarikan.

Seperti halnya becak, kendaraan yang sudah ada sejak masa prakemerdekaan ini, dianggap sudah erat eksistensinya dengan masyarakat. Walaupun bukan asli dari Indonesia, tetapi becak telah menjadi transportasi andalan dari dulu. Becak pun pernah lalu lalang di pusat ibu kota pada era keemasannya. 

Meskipun kala itu memang belum banyak kendaraan bermotor. Tetapi, becak sudah terlanjur melekat dengan masyarakat. Namun, sejumlah Perda yang dikeluarkan para Gubernur terdahulu melarang keberadaannya untuk bebas melalang buana di ibu kota.

Becak dalam pop culture Indonesia seringkali tampil pada berbagai film, khususnya film lama seperti Warkop DKI. Di mana tokoh utamanya, pernah mengendarai kendaraan tanpa mesin bermotor ini. Begitu pula, becak disituasikan sebagai kendaraan yang sulit dikendalikan apabila pengendaranya kehilangan konsentrasi sehingga bisa terpelosok ke dalam sungai.

Lagu yang bertemakan becak pun diciptakan oleh Ibu Soed untuk mengenalkan kepada anak-anak eksistensi transportasi ini. Dalam liriknya bercerita bahwa becak dipakai untuk bertamasya berkeliling kota, sesuatu yang sudah jarang sekali ditemukan kini. Lalu, menaiki becak seorang diri dengan mengangkat kaki, menunjukkan kenyamanan saat menaiki becak. Selain itu, Bimbo pun membuatkan lagu untuk mengapresiasi perjuangan tukang becak dalam lagunya Abang Becak.

Sejalan dengan hal itu, kendaraan roda tiga ini bagi kalangan tradisionalis perlu dilestarikan kembali keberadaannya. Meskipun sadar bahwa sudah tidak mungkin dapat bebas kembali untuk beroperasi di jalan besar ibu kota, namun untuk daerah pinggiran dan dekat dengan pasar masih memungkinkan bagi becak. 

Terlebih lagi, dengan estetika tradisionalnya, untuk daerah wisata becak masih sangat potensial keberadaannya untuk mendongkrak daya tarik wisatawan. Seperti, daerah Kota Tua dan Monas misalnya. Kedua kawasan tersebut memiliki lahan yang cukup luas dan sepi dari kendaraan bermotor, karena memang dilarang. Becak dapat ambil bagian di sana.

Terlepas dari sejumlah permasalahan yang muncul, becak memang masih diperlukan keberadaannya bagi sebagian pihak. Apalagi bagi masyarakat yang mengais rupiah dari kendaraan roda tiga ini. 

Tukang becak, yang sering diidentikan dengan betis yang besar karena sering mengayuh dengan membawa beban yang berat, tentu menyambut baik kebijakan ini. Mereka tidak perlu kucing-kucingan dengan Satpol PP lagi. Keberadaan mereka akan mendapat status legal dari pemerintah daerah.

Nilai tambah dari kendaraan ini adalah polusi yang dikeluarkan hampir tidak ada, kecuali pengendara becak ini merokok atau badannya bau akibat tidak mandi itu menjadi persoalan lain. 

Tidak ada mesin bermotor yang dipasang di becak tradisional ini, kecuali berbicara becak motor (becak motor) yang masih banyak beredar terutama di kawasan Sulawesi Utara. Becak dirancang dengan menggunakan mesin mekanik dengan pengendara lah yang menjadi motor utamanya. Tukang becak pun dapat dikenali dengan seikat handuk yang disandarkan di lehernya untuk menyapu keringatnya akibat lelah mengayuh.

Kekurangan dari transportasi ini pun seputar hal-hal teknis saja, seperti kecepatannya yang tergantung tenaga pengendara dan kesulitan melaju di jalanan menanjak. Selain itu, untuk kecepatannya yang lambat becak dirancang dengan ukuran yang melebar di bagian depan sehingga menyulitkan kendaraan yang berada di belakangnya. Tetapi, nilai positifnya penulis tidak pernah mendengar ada pengendara becak yang ugal-ugalan sehingga menimbulkan korban.

Era Modern, Siapa yang Butuh Becak?

Sementara kalangan modernis menilai kehadiran becak hanya menambah kesemrawutan ibu kota. Ukurannya yang tidak ramping dan kecepatannya yang lambat jadi dalih penolakan. 

Terlebih, sudah banyak kendaraan umum yang bisa dipakai saat ini, tidak seperti dulu pada masa kejayaannya di saat transportasi masih minim. Suara modernis digawangi oleh Ketua DPRD DKI Jakarta, Edi Marsudi yang dengan tegas menolak pelegalan tersebut.

Bagi modernis, sesuatu yang sudah ketinggalana zaman harus ditinggalkan. Mereka meyakini bahwasannya warisan tersebut biarlah tersimpan dalam ingatan atau paling tidak dalam museum. Seiring perkembangan teknologi pula kendaraan bermotor dinilai lebih praktis ketimbang kendaraan yang masih bertenaga mekanik.

Begitu pula dengan nasib becak, transportasi umum yang sudah habis masa kejayaannya ini perlahan ditinggalkan. Hanya segelintir masyarakat yang kini masih menggunakannya. Pengendara becak pun mungkin sudah beralih profesi akibat sepinya pelanggan. Bagi yang masih bertahan, harus rela kucing-kucingan dengan Satpol PP jika ada razia. Alternatifnya, pindah ke daerah yang relatif aman dari kejaran aparat.

Becak memang sejak lama dilarang operasinya di ibu kota, sekitar 40 tahun yang lalu. Tetapi pemerintah baru resmi mengeluarkan Perda yang melarangnya pada 2007 silam. Pemerintah berpikir sudah saatnya meninggalkan becak sebagai moda transportasi utama karena dinilai tidak efisien lagi.

Becak pun dipandang sudah kuno pemakaiannya. Tidak terlalu keren dan mengesankan kumuh karena memang becak yang ada sudah sejak lama dipakai, jadi terdapat karat di mana-mana. Dari segi desain, warna becak pun relatif sama, kalau tidak merah paling biru, atau kombinasi keduanya. Perlu inovasi dan kreatifitas sekadar membuat becak laku atau meyakinkan kalangan modernis untuk memakainya.

Soal kemacetan pun jadi dalih untuk memperkuat penegasan tersebut. Semakin ramai suasana ibu kota, semakin banyak pula kendaraan yang lalu lalang meramaikan jalanan. Ditambah pilihan transportasi umum yang kian beragam. Mulai dari TransJakarta, KRL, transportasi daring, hingga yang terbaru LRT dan MRT. Semuanya sudah bergerak ke era yang lebih modern lagi, meninggalkan moda transportasi legenda lainnya, seperti Metro Mini yang kini mulai jarang terlihat.

Pada era di mana internet sudah melekat di sektor mana pun, siapa yang masih membutuhkan becak? Lambat, tidak fleksibel, dan membuat pegal tukangnya. Bagi milenial, sebagian mungkin tidak pernah merasakan naik becak. 

Melihatnya pun mungkin saja tidak pernah. Jangan-jangan, mendengar kata becak sudah seperti legenda buatnya. Mereka mungkin tidak pernah merasakan seperti apa rasanya perjuangan tukang becak dalam mencari rezeki. Panas dan hujan tukang becak rasakan, karena atap pelindung hanya diberikan kepada pelanggan saja.

Kalangan modernis menganggap sudah saatnya masyarakat lebih maju lagi. Jangan mau tertinggal dengan negara lain, yang sudah mengadopsi berbagai macam teknologi transportasi efektif. 

Misal negara Jepang dengan Shinkansen kebanggannya. Atau Jepang mungkin teralalu jauh untuk disandingkan, mungkin melihat Singapura akan jauh menyadarkan. Negara yang luasnya bahkan tidak menyentuh luas Jakarta sekali pun, sudah mengadopsi transportasi bawah tanah, MRT jauh-jauh hari. Sementara Indonesia baru memulainya, itu pun ibu kota.

 Konsep Al-Maslahah Jadi Solusi

Dengan melihat perspektif keduanya, sejatinya hal ini dapat diselesaikan dengan konsep al-maslahah. Melihat bahwa al-maslahah pada dasarnya adalah mendatangkan segala bentuk kemanfaatan atau menolak selaga kemungkinan yang merusak. Maka perlu adanya itikad baik antara Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD DKI Jakarta dalam menyelesaikan polemik terkait legalisasi becak di ibukota.

Bukan tidak mungkin apabila diberdayakan seperti kendaraan di wilayah Sulawesi Utara, bentor. Perpaduan antara modernitas dan tradisional menghasilkan kendaraan tersebut. 

Alhasil penikmat bentor pun tidak sedikit di sana. Sejarahnya, sekitar tahun 2000 Bentor masuk ke wilayah Kota Kotamobagu, yang saat ini merupakan kota dengan populasi bentor terbanyak di Sulawesi Utara. Bermula hanya sebagai kendaraan pengangkut barang di pasar tradisional, hanya berkisar setahun Bentor menjelma menjadi angkutan yang diminati warga.

Di Kota Kotamobagu sendiri, kendaraan angkutan kota jenis mini bus yang beroperasi mulai berkurang lantaran kalah populer dengan bentor, sebap kemampuan memasuki jalan sempit menjadi salah satu keunggulan Bentor dibanding angkutan kota. Bahkan sekitar tahun 2004 sudah tidak ada lagi minimi bus yang beroperasi, kalau pun ada hanya rute yang sulit ditempuh bentor seperti jalur Kotamobagu-Modayag.

Perkembangan bentor di Kota Kotamobagu begitu pesat, tidak hanya jumlahnya saja, namun desain rangka becaknya hingga aksesoris seperti tambahan perangkat audio menjadi ciri khas paling menonjol dari bentor rakitan sejumlah bengkel di Kotamobagu. Bahkan tidak jarang para pemilik bentor rela mengeluarkan biaya perakitan dan paket audionya mencapai 20-an juta rupiah.

Melihat sisi baiknya, sebetulnya becak dapat dimanfaatkan di sektor pariwisata seperti disinggung sebelumnya. Becak memang sudah tidak relevan lagi, melihat perkembangan transportasi yang ada, akan tetapi masih menyimpan sejuta potensi apabila ditinjau lebih jauh. Oleh sebab itu, para pemangku kepentingan harus bahu membahu mewujudkannya apabila becak kembali diizinkan beroperasi.

Pembatasan daerah operasi becak pun sah-sah saja, asal ada payung hukum yang jelas dari pemerintah. Sehingga tidak ada cerita kucing-kucingan lagi antara tukang becak dengan Satpol PP. Jika di ruas jalan arteri memang tidak memungkinkan, alangkah baiknya di daerah dekat dengan pasar atau perumahan boleh lah diizinkan. Karena daerah tersebut paling banyak dibutuhkan tenaga becak dibandingkan di jalan utama.

Jika memang revisi Perda tersebut dikabulkan, perlu dikaji lebih jauh regulasinya. Jangan sampai ketika dilegalkan malah menjadi sarang kemacetan yang baru. Terlebih ada isu kalau memang legal, maka becak dari luar daerah pun akan masuk ke ibu kota. Perlu pengawasan ketat, agar hal itu tidak terjadi. Sebaliknya, apabila usulan tersebut ditolak maka pemerintah mungkin bisa memikirkan ulang tentang pengoperasian becak khusus di tempat wisata saja.

Semua usulan tadi kembali ke tinjauan al-maslahah, dicari sisi baik dari permasalahan. Agar kalangan tradisionalis maupun modernis dapat melihat potensi tanpa menghilangkan esensi. Jangan sampai kebijakan ini hanya karena ingin menuntaskan janji politik kepada rakyat tanpa keseriusan. Pun jangan lah menolak usulan baik hanya karena rivalitas politik semata. Kebijakan harus semata-mata dikeluarkan demi kepentingan rakyat. Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Tulisan ini merupakan tugas akhir dari mata kuliah Komunikasi Antar Agama dan Budaya menggunakan perspektif Tradisionalisme dan Modernisme pada kasus Legalisasi Becak di Ibu kota. Publikasi ini hanya berisi latar belakang dan analisis masalahnya saja. Semoga dapat memberikan pandangan baru untuk kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun