Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Mengadopsi Kultur yang Salah

3 Oktober 2022   19:27 Diperbarui: 3 Oktober 2022   19:41 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana di Stadion Kanjuruhan, Malang Sabtu 1 Oktober 2022 lalu. | Sumber: Kompas.com

Era tahun 90-an, tayangan liga-liga Eropa mulai masuk ke Indonesia. Stasiun televisi swasta yang baru bermunculan kala itu, menjadikannya primadona siaran yang langsung membuat masyarakat jatuh hati.


Dalam waktu singkat, demam liga Eropa menjalar hingga ke seluruh pelosok. Antusiasme bermula ketika RCTI memboyong hak siar liga terpopuler di dunia kala itu, Liga Italia.

Sihir magis Roberto Baggio yang dulu cuma bisa dinikmati sebagai mitos ataupun dongeng, kala itu seolah menjadi kenyataan. Tariannya di atas lapangan sudah bisa dinikmati secara langsung dari layar kaca.

Tak melulu dari pemain, atraksi-atraksi di atas lapangan juga lahir dari para fans di stadion. Masyarakat Indonesia yang dulunya tak mengenal budaya suporter, kala itu seolah dihujani "AHA momen" yang memantik gagasan dalam memberi dukungan terhadap klub kesayangannya.

Yel-yel, nyanyian, hingga koreografi yang semula begitu asing, perlahan mulai dikenal oleh masyarakat sepak bola Indonesia. Tak butuh waktu lama, kultur yang baru mereka kenal itu pun langsung dibawa dan diadopsi ke tanah air.

Sayangnya antusiasme menyerap kultur suporter sepak bola dari luar tadi, tidak dibarengi dengan literasi yang memadai. Akibatnya, fenomena "asal comot" menjadi tak terhindarkan.

Kultur ultras garis keras yang di negeri asalnya menjadi salah satu problem sosial, tak dinyana justru ditelan mentah-mentah oleh hampir seluruh kelompok suporter yang ada di Indonesia.

Padahal di Italia sana, ultras sebuah klub menjadi kelompok yang paling lekat dengan perilaku kriminal. Keberadaannya bisa dikenali dengan sangat jelas, namun hukum seolah tak mampu menyentuhnya.

Di Italia selatan misalnya, kelompok ultras diketahui memiliki kedekatan dengan beberapa kelompok mafia berpengaruh, utamanya dalam lalu lintas perdagangan narkotika.

Sementara di Italia utara, kultur ultras kerap ditenagai kelompok-kelompok ekstrimis politik, kesukuan, kelas sosial, hingga agama sekalipun.

Yel-yel bernada intimidatif, kebencian, hingga teror, selalu bergema di dalam stadion setiap minggunya. Tensi ini pula yang kerap mempengaruhi jalannya pertandingan, hingga independensi keputusan wasit.

Pesan-pesan kebencian yang jauh dari nilai-nilai sportifitas, mengokupasi bendera hingga banner yang terpasang di stadion. Fenomena ini pula yang lazim kita jumpai di tanah air sekarang.

Biasanya di dalam sebuah klub, terdapat dua atau lebih kelompok ultras yang saling bertentangan satu sama lain. Perbedaan cara pandang yang sangat kecil sekalipun, bisa membuat sebuah kelompok suporter mengusung benderanya sendiri-sendiri.

Demi menghindari singgungan antar kelompok ultras di dalam stadion, pihak klub mengakalinya dengan membagi zona tribun. Belakangan, kita mengenalnya dengan istilah curva nord dan curva sud (tribun bagian utara dan selatan).

Polarisasi antar sesama pendukung ini, tak ayal memunculkan riak-riak perseteruan yang memicu konflik. Dari sinilah bentrok antar sesama pendukung dari sebuah klub bisa dijelaskan.

Alih-alih dikesampingkan, di Indonesia kultur semacam ini justru diadopsi bahkan dipelihara sebagai sebuah tata nilai. Seolah sebuah kelompok suporter tak akan mendapat pengakuan, jika belum mengadopsi nilai-nilai tadi.

Tak heran jika di Indonesia dengan mudah bisa kita temui kelompok suporter dengan ciri laku dan penamaan yang serupa dengan kelompok dari negara asalnya.

Istilah-istilah seperti ultras, hooligans, dan lain sebagainya, di sini justru dipakai menjadi sebuah identitas penamaan kelompok suporter, di mana di negara asalnya, istilah-istilah tadi digunakan sebagai labelisasi kelompok suporter yang toksik dan bermasalah.

Labelisasi "curva sud" dan "curva nord" yang di negeri asalnya menjadi zona tribun paling dihindari, di sini justru dianggap paling keren. Bahkan tak sedikit kelompok suporter yang percaya diri menyematkan istilah "curva sud" dan "curva nord", sebagai penamaan identitas kelompok mereka.

Menyedihkan memang, betapa kelompok suporter di negeri ini banyak mengadopsi kultur yang keliru. Atau lebih tepatnya, kita gagal dalam menafsirkan kultur mana yang baik dan yang tak baik untuk kita pakai.

Asal comot, yang penting keren. Seolah jadi parameter suporter Indonesia dalam memakai atribut-atribut kebudayaan suporter luar.

Cara berpikir yang keliru, membuat kita berlaku sama kelirunya. Dorongan untuk terlihat keren secara komunal, namun tak dibarengi dengan keren secara intelektual, jelas membuat kita tak ubahnya seperti makhluk primitif yang dijubahi pakaian modern.

Perilaku keliru berjamaah, membuat sebuah ekosistem komunal menjadi beracun dan sangat sakit. Parahnya, ia tak cuma berbahaya bagi orang-orang di dalamnya, tetapi juga menulari orang-orang di luar komunitasnya.

Ciri yang paling mudah dikenali dari kelompok yang sakit ini, adalah ketiadaan kemampuan untuk melakukan otokritik bagi kelompoknya sendiri.

Sikap agresif dan konfrontatif terhadap kelompok lain, menjadikan lingkaran setan kebencian sulit sekali diputus. Padahal jika bertanya jauh ke dalam hati, masing-masing dari kita hanyalah ingin menonton olahraga yang sama, bergembira bersama. Sesederhana itu.

Tentu mengadopsi kultur dari luar, bukanlah sesuatu yang haram. Akan tetapi menempatkannya sebagai kiblat, tanpa pernah kita kalibrasi ulang kesesuaiannya dengan nilai-nilai yang kita miliki, bukankah kelak ini akan menjadi katastrofi?

Sudah terlalu banyak tragedi kemanusiaan yang meletup atas nama sepak bola. Sudah terlalu banyak pula nama, yang sekarang cuma menjadi tinggal nama.

Kita berharap peristiwa di Kanjuruhan menjadi tutup buku bagi mereka yang telah berpulang. Setelahnya, mari kita bercermin satu sama lain.

Alih-alih menyalahkan pihak lain, barangkali kita semua adalah pihak yang paling bertanggung jawab, atas keterpurukan sepak bola yang kita pupuk dari kultur yang salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun