Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Buffon, Sang Superman yang Menolak Kalah dari Depresi

28 Januari 2020   13:29 Diperbarui: 28 Januari 2020   17:35 1056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gianluigi Buffon, sumber: kompas.com

Namun, bukankah, Superman tetaplah manusia biasa seperti kita?

Tak selamanya Superman bisa terbang tinggi. Sesekali ia jatuh, tak berdaya. Namun ia harus tetap berdiri, tersenyum, bahkan mungkin berpura-pura seolah semua baik-baik saja. Sebab ia tahu, orang tak akan mau peduli, hanya bisa menghakimi. 

Superman adalah manusia super yang bisa mengatasi seberat apapun tantangan. Padahal kenyataannya tak demikian. Superman ini tengah kepayahan, ia terluka dan berdarah-darah saat itu, pahlawan ini butuh pertolongan. Ia harus segera diselamatkan. 

Tim dokter yang merawatnya saat itu, sempat menawarkan obat anti depresan kepada dirinya. Namun Buffon menolak, ia tak ingin bergantung pada obat-obatan yang hanya akan memengaruhi permainan sepakbolanya. Ia tak ingin tak memberikan 100% upayanya untuk klub yang begitu dicintainya itu.

Pada akhirnya, Buffon lebih memilih langkah untuk menghadapi sendiri depresinya tanpa bantuan obat-obatan. Didampingi oleh tim dokter serta psikolog profesional yang disiapkan oleh Juventus, Buffon mulai mencoba bangkit, memulihkan lagi kondisi kejiwaannya.

Ia tahu, menyerah dan berhenti dari dunia yang membesarkan namanya bukanlah jalan keluar yang baik. Ia sadar, namanya mulai dikenal oleh banyak orang, bahkan mulai menginspirasi anak-anak kecil yang juga ingin menjadi seperti dirinya. Ia tak ingin mematahkan mimpi anak-anak kecil itu.

Suatu hari, di sebuah kunjungannya ke pameran Marc Chagall di museum Turin, Buffon menemukan titik terang yang menjadi awal pencerahan baru bagi hidupnya sampai hari ini. Tepatnya di depan sebuah lukisan berjudul "The Promenade" karya Chagall.

Lukisan The Promenade karya Marc Chagall, sumber: Wikipedia
Lukisan The Promenade karya Marc Chagall, sumber: Wikipedia

Di antara banyak lukisan yang dipamerkan saat itu, Buffon terdiam lama pada lukisan yang begitu sederhana ini. Hatinya bergetar, seolah ada seseorang yang memeluknya dari belakang. Hangat, namun tak sampai membuatnya berkeringat. Ia pun menitikkan air mata saat itu.

Buffon mulai mengerti, bahwa ia sudah terlalu banyak kehilangan hal-hal sederhana dalam hidupnya. Hal-hal kecil, semisal menonton film, berlama-lama di kamar mandi, bernyanyi, atau bahkan yang tak sempat ia lakukan sama sekali, berkeluh-kesah. 

Ia kehilangan waktu untuk menceritakan hal-hal yang ia alami, mengenai apa-apa yang tengah ia kerjakan, yang tengah ia rasakan. Rutinitas harian merenggut semuanya dari sang Superman. Ia tak hanya kehilangan waktu, ia juga kehilangan teman bicara. Ia tenggelam oleh laut kesepian yang mencekiknya begitu dalam. Buffon sangat menderita saat itu, namun ironisnya. Ia memikulnya seorang diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun