2018. Pinogu -- Tulabolo, Gorontalo
Sejak 2001, saya sering sekali bolak balik ke Gorontalo, memasuki hutan kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.Â
Saat itulah, saya sering melihat kesibukan warga yang bergerak dari Desa Tulabolo di Kecamatan Suwawa (saat itu) menuju Desa Pinogu, bersama melintasi hutan, puluhan kilometer.
Warga bergerak baik lenggang kangkung maupun sambil membawa barang. Sarana angkutan saat itu mulai dari yang tanpa angkutan alias jalan kaki, sampai yang masih menggunakan kuda maupun motor ojek.
Walaupun saya akhirnya sampai ke Pinogu juga, suatu saat di masa itu, namun saat itu saya jalan kaki tentunya, dalam budget minim kegiatan kami.Â
Nah, barulah pada 2018 lalu, saya akhirnya berkesempatan naik ojek-ojek Pinogu yang terkenal tangguh ini.
---
Pinogu saat ini terdiri dari lima desa dalam satu Kecamatan Pinogu, di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. Permukiman ini merupakan enclave atau area kantong yang dikelilingi oleh kawasan hutan TN  Bogani Nani Wartabone, namun bukan menjadi bagian dalam kawasan tersebut.
Pinogu dipercaya sebagai salah satu desa tertua di Gorontalo, bahkan menjadi asal usul Gorontalo itu sendiri.Â
Pinogu juga dipercaya menjadi salah satu daerah basis perjuangan Bapak Nani Wartabone, seorang pahlawan nasional asal Gorontalo ketika melawan kolonialisme Belanda. Nama beliau pulalah yang diabadikan menjadi rangkaian nama taman nasional di semenanjung utara Sulawesi ini.
Pada September 2018 silam, setelah sekian belas tahun, akhirnya saya mengunjungi kembali Pinogu, kali ini bersama kawan-kawan.Â
Umumnya, terdapat dua jalur umum yang dilalui untuk ke Pinogu dari desa terdekatnya, yaitu Desa Tulabolo, ataupun sebaliknya.
Desa Tulabolo sendiri berada Kecamatan Suwawa Timur, masih di Kabupaten Bone Bolango. Desa ini sekitar 30 km dari Kota Gorontalo.
Jalur pertama merupakan jalur tradisional awal yaitu jalan setapak. Konon jalur ini juga pernah beberapa kali berubah. Namun setelah lebih dari 20 tahun, jalur setapak ini masih tetap, namun saat ini hanya sesekali dilalui oleh masyarakat, walaupun harus berjalan seharian menempuh lebih dari 20 km.
Jalur kedua merupakan jalur tua juga, tapi lebih muda dari jalur setapak. Lebih jauh, sekitar 40an km. Jalur tempat kuda-kuda dulu mengangkut aneka hasil bumi dan barang rumah tangga dari dan ke Pinogu.Â
Awal 2000an, kuda sudah mulai berkurang, diganti dengan ojek yang sesekali sudah hilir mudik melalui jalur tersebut.
Ketika kita berada di Pinogu, mungkin jika kita entah tiba-tiba berada di sana pakai sulap, kita tidak akan mengira bahwa permukiman tersebut sesungguhnya enclave di tengah hutan. Dengan luas dataran sekitar 3 ribuan hektar, hutan sebenarnya tampak hanya di kejauhan.
Di Pinogu, kita melihat permukiman dan aktivitas masyarakat seperti desa pada umumnya. Rumah rapi berbahan batu maupun kayu, tiang dan kabel listrik berjajar teratur. Perabot di rumah-rumah warga pun seperti biasa, termasuk sofa-sofa dan kulkas pun ada di banyak rumah.
Hanya satu yang hampir tidak pernah ada di sana, mobil.
Saya katakan hampir tidak pernah ada karena sesekali ada juga mobil masuk ke permukiman Pinogu ini, khususnya dalam tahun-tahun terakhir ini. Tidak lain ini karena tidak ada jalan mobil untuk sampai ke sini, kecuali mobil dengan kepentingan khusus.
Semua perabotan dan fasilitas desa, semua dibawa oleh para ojek.
"Bagaimana mereka bawa tiang listrik dan kabel-kabel ini semua," tanya saya ke Ardin, kawan saya dari Tulabolo yang kadang-kadang merangkap ngojek motor juga.
"Dibawa pakai ojek semua Pak," tegasnya.
"Bagaimana bisa?"
"Ya dibawa sama-sama. Satu tiang listrik diangkut oleh beberapa ojek sekaligus. Kabel-kabel juga begitu," terang Ardin. Waww.
--- Â
Beberapa hari lalu, di akhir September yang ceria, kami tiba di Pinogu dengan berjalan kaki. Tentu tidak sehari langsung sampai seperti orang-orang Pinogu asli yang kuat-kuat berjalan.
Kami berjalan sejak dari Tulabolo. Melewati tepi-tepi punggungan bukit. Mensusuri hutan-hutan sunyi nas mistis. Menyeberangi sungai-sungai yang bersih dan tampak ajaib untuk disaksikan.
Baca juga: Menyusuri Sungai Bone di Gorontalo dan Hancurnya Rakit Bambu Kami
Setelah tiba di Pinogu, kami pun masih berjalan lagi seharian untuk melihat lokasi saltlick-nya babirusa sulawesi [Babyrousa celebensis] yang unik, membuat video anoa dataran-rendah [Bubalus depressicornis] yang konon garang itu, dan akhirnya kembali ke Pinogu lagi.
Hari terakhir, kami berkumpul dengan beberapa warga Desa Bangio, salah satu desa di Pinogu. Memfasilitasi rapat kelompok masyarakat di desa untuk bekerjasama dengan pengelola kawasan TN Bogani Nani Wartabone. Inilah sebenarnya tujuan utama kami di Pinogu.
Malam terakhir, kami menginap di rumah Pak Taufik Nadjamuddin, petugas taman nasional, yang asli Pinogu dan tinggal di desa paling ujung, Dataran Hijau.
Kami dijamu dengan masakan beraroma khas minyak kelapa kampung. Setelahnya, kami menikmati suguhan kopi Pinogu yang terkenal itu, paduan antara robusta dan liberika, yang konon merupakan bagian peninggalan masa tanam paksa VOC di Gorontalo, sejak 1875.
Menikmati kopi sambil membaca dan mendengar sejarah Pinogu. Legenda Raja Bangio dan kedua anaknya Mo'odulio dan Mo'oduto. Cerita yang diteruskan turun temurun bagi warga Pinogu dan Gorontalo, layaknya benda pusaka nan sakti.
Pagi ini, kami akan kembali ke Desa Tulabolo dan terus sampai ke Kota Gorontalo. Sejak semalam, pak Taufik sudah menghubungi belasan tukang ojek untuk mengantar kami. Dan, sebelum pukul delapan, ojek-ojek sudah riuh di depan rumah Pak Taufik.
"Seratus lima puluh ribu kalau dari Pinogu ke Tulabolo, tapi bisa sampai 300 ribu kalau dari Tulabolo ke Pinogu sini," terang Pak Taufik tentang ongkos ojek ini.Â
"Rata-rata, tukang ojek ini warga Tulabolo, jadi mereka pasang tarif lebih murah kalau dari sini, hitung-hitung daripada kembali kosong," jelas beliau lebih lanjut.
Hawa telah memanas ketika kami mulai bersiap packing. Tas-tas ransel kami dibungkus plastik dan diletakkan di depan atau belakang motor. Kami dan pengojek, sisip-sisip di antaranya.
Motor-motor ini sebenarnya motor bebek biasa, namun para tukang ojek ini telah memodifikasi motor-motor tersebut serupa motor trail. Ini diperlukan, karena memang jalur ojek yang akan kami tempuh, lebih banyak berkubang tanah daripada melewati jalan yang sebagiannya telah dirabat beton.
Akhirnya motor berjalan beriringan. Saya sendiri dijokikan oleh Ardin, kawan saya tadi.
"Berapa lama?" Tanya saya.
"Dua tiga jam kalau lancar?" Ucap Ardin.
Sekitar 15 menit kami tiba di Pohulongo, rumah singgah para ojek, tepat sebelum jembatan penyeberangan. Berhenti sebentar memeriksa sekali lagi perlengkapan, para ojek pun melaju kembali.
Para ojek bergemuruh melintas 70an meter jembatan gantung Pohulongo, yang melintangi Sungai Bone, salah satu sungai terpanjang dan terbesar di Gorontalo. Sungai 100 km lebih, yang bermuara di Kota Gorontalo.
Ojek terus saling menderu melintasi rimbunan rindang hutan. Jalan rabat beton berakhir, jalan tanah mengganti, ketegangan sesekali terjadi.
Beberapa kali rombongan harus berhenti. Jalan tanah menyempit becek dan kami harus pelan-pelan bergantian. Sebagian penumpang ada yang memilih turun dan berjalan kaki sedikit. Beberapa bagian jalan memang sangat parah. Kami seperti berjalan di dalam selokan yang dalam dengan kanan kiri tanah hampir setinggi kami.
"Untung ini beberapa hari tidak hujan. Kalau musim hujan, setengah mati kami di sini. Tidak boleh juga kami bawa ojek sendiri, karena kalau ada kerusakan motor, tidak ada yang membantu," terang Ardin.
Memang tak lama setelah berojek becek-becek ini, ada saja salah satu dari rombongan kami yang berhenti. Entah putus rantai motor, gendongan barang hampir jatuh, mesin motor mati, dan sebagainya, yang menyebabkan sebagian kami harus saling menunggu dan membantu.
Suasana jalan yang dilewati sebenarnya cukup menyenangkan. Kami melewati hutan-hutan primer taman nasional yang masih lebat dan sejuk.Â
Terkadang terlihat lanskap hutan yang hijau membiru megah. Bahkan sesekali kami melintasi sungai kecil dengan air-air terjun mini di kanan kiri jalan.
Satu jam lebih sejak dari Pinogu. Kami akhirnya berhenti semua dan beristirahat.
"Ini sabua enam," kata Ardin.
Kami berhenti di depan sebuah warung, sepertinya. Ramai, tidak hanya rombongan kami. Dari anak-anak, remaja, sampai orang-orang tua.Â
Tampaknya ini salah satu tempat singgah para ojek juga, selain Pohulongo tadi. Karena hanya kami rombongan dari Pinogu, maka kami berasumsi, orang ramai di warung ini adalah rombongan dari Tulabolo yang hendak ke Pinogu.
Kami sebenarnya belum lapar-lapar amat, namun berhenti karena memberikan waktu istirahat kepada para tukang ojek kami. Kami pun berbengong-bengong ria di sabua enam ini.Â
Sedikit ngobrol, memperbaiki posisi tas-tas kami agar terikat lebih baik, berfoto-foto, atau sekadar liat kanan kiri kami yang berhutan.
---
Motor kami terus melaju lancar. Jalan rabat beton makin terlihat berkondisi baik. Satu dua rumah sudah mulai muncul, menandakan kami hampir memasuki perkampungan.
Permukiman pertama yang kami jumpai adalah Desa Tulabolo Timur. Desa ini merupakan pemekaran dari Desa Tulabolo induk, bertahun-tahun lalu. Saat ini, saya hanya bisa menduga kami sudah berada di luar kawasan taman nasional.
Perkampungan makin ramai. Rumah mulai padat. Laju motor kami pun menjadi lebih cepat. Beberapa motor sudah melaju lebih kencang memisahkan diri dari rombongan.
Sekitar setengah jam kami meluncur di perkampungan ini. Akhirnya kami tiba di jembatan gantung Tulabolo, tanda perjalanan kami telah sampai. Kami semua berkumpul di Kantor Resort Taman Nasional. Alhamdulillah semua kembali dengan baik.
Perjalanan ini sebenarnya versi ringkas dari hampir 10 hari perjalanan kami di dalam kawasan TN Bogani Nani Wartabone, di bagian Seksi Suwawa atau wilayah Gorontalo ini. Benar, capek namun menyenangkan.
Baca juga: Menuju Moa, melintasi hutan tua dan sungai-sungai nan jernih
Kami mulai dari berjalan kaki, menyeberang sungai, berakit, sampai berojek motor. Dari menginap di tenda dalam hutan, di kamp penelitian (yang semi permanen), di pos singgah, sampai di rumah penduduk. Semua kami rasakan.
Alhamdulillah, sebuah perjalanan seharusnya tidak saja membawa suasana berbeda yang menyenangkan, namun juga mudah-mudahan dapat memberikan kami pengalaman dan pemahaman lebih baik dari apa yang kami lihat, rasakan, dan alami. *
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI