Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kantor Pos

9 Desember 2020   16:52 Diperbarui: 9 Desember 2020   17:02 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantor Pos Kota Gorontalo, telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya sejak 2010 (@Rosyid Azhar)

Sewaktu saya bertugas sementara membatu suatu project di Karakelang, Kepulauan Talaud Sulawesi Utara, pimpinan kami dari Bogor pernah menasihati kami yang muda-muda ini. “Ketika kalian berada di daerah-daerah terpencil seperti ini, cobalah memanfaatkan keterpencilan ini sebagai sebuah kelebihan. Misalnya, kalian menulis sesuatu, kemudian dikirim ke media di Jakarta. Bayangkan, mereka mendapat surat dari Talaud di sini, ada cap pos ‘Kantor Pos Beo - Talaud’, daerah yang sangat jauh dari Jakarta, bahkan mereka tidak akan kenal daerah mana itu. Pasti nilainya akan lebih”.

Ah, pak bos ini selalu saja benar. Saya tidak pernah berpikir untuk memanfaatkan nama Beo atau Karakelang atau Talaud, tempat saya tinggal sementara ini sebagai kelebihan non-teknis saya dalam sebuah tulisan. Dan sialnya, waktu saya di Talaud saat itu hanya tinggal beberapa hari saja. Saya sudah kehilangan momen kelebihan tadi.

Kantor Pos memang dulu sempat cukup akrab bagi saya. Walaupun saya sudah memiliki alamat email sejak 1999, tapi saya selalu mengirimkan tulisan-tulisan saya menggunakan jasa Pos Indonesia. Sampai sekitar 2010an ketika beberapa media sudah secara jelas menuliskan naskah dapat dikirim melalui email, barulah saya pun lebih memilih mengirim naskah melalui email.

Memang keberadaan Kantor Pos di setiap daerah yang saya kunjungi, hampir saya hafal tempatnya. Gedung kantor ini yang biasa yang cari di awal kedatangan saya ke suatu daerah, selain bank dan mesim ATM-nya tentu saja.

Walaupun sejak pertengahan kuliah, saya sudah terbiasa menggunakan komputer untuk setiap pelaporan tugas, namun ternyata komputer tetaplah belum menjadi peralatan standar utama di setiap perkantoran pada awal 2000an. Saya cukup terkejut bahwa ternyata ketika saya datang ke Kotamobagu pada awal millennium ini, di tempat saya bekerja waktu itu hanya tersedia satu Personal Computer. Fungsi PC ini hanya satu, sebagai media untuk membuat Surat Perintah Tugas dari pimpinan. Piranti lunaknya masih menggunakan WordStar, padahal saat itu telah lama juga beredar Windows dengan MS-office-nya. Parahnya lagi, hanya satu orang operator komputer yang boleh menggunakan set komputer yang ada tersebut.

Mau tidak mau, saya kembali menggunakan kemampuan mengetik pada mesik tik, yang setidaknya pernah saya miliki. Mesin tik masih tersedia gratis di banyak meja kerja teman-teman saya saat itu. Sabtu Ahad bisa saya gunakan untuk mengetik naskah. Maka jadilah beberapa naskah, saya buat menggunakan mesin tik kantoran yang batang rol-nya dapat mencapai satu meter itu. Saya lupa merk mesin tik tersebut, tapi yang jelas, bukan bermerk “saudara” yang umum itu. Dan tetap, naskah hasil mesin tik tersebut saya kirim menggunakan jasa Pos Indonesia.

Hal yang cukup mengesankan ketika saya berada jauh nun di pelosok Indonesia ini adalah, ketika tiba-tiba Pak Pos datang mengantar paket majalah yang berisi naskah saya yang telah dimuat. Waktu awal 200an itu, tentu saja saya tidak memiliki nomor telepon yang dapat dihubungi oleh pihak redaktur untuk mengabarkan terbitnya naskah saya. Soal honorarium, saya husnuzon saja kepada pihak majalah, bahwa mereka telah mengirimkannya ke dalam rekening yang nomornya telah saya berikan. Kesenangan berikutnya adalah menghadapi kenyataan bahwa majalah yang saya kirimi naskah itu, hampir tidak pernah ada dijual di daerah tersebut.

Selain hal di atas, setidaknya terdapat dua pengalaman pribadi saya, yang teringat ketika menggunakan jasa Pos Indonesia ini. Tapi ya mohon maaf, kedua ingatan ini pada hal yang kurang baik.

Pertama, ketika saya meminta kakak saya untuk mengirimkan beberapa buku saya melalui paket pos dari Jakarta menuju Kotamobagu. Dengan memilih pengiriman termurah, dinyatakannya paket saya akan tiba dari Jakarta ke lokasi tujuan saya di Kotamobagu dalam waktu satu bulan, karena menggunakan jasa kapal laut. Tapi kalau dipikir-pikir, masuk akal juga. Kapal laut hanya ada dua pekan sekali, dan sekali jalan hampir satu pekan dari Jakarta menuju Sulawesi Utara. Jadi wajar kalau sampai di tempat saya, Kotamobagu, paling lambat selama satu bulan.

Satu bulan sudah berlalu, saya mulai cemas. Tapi akhirnya barang pesanan tiba. Saya yang saat itu belun pengalaman dalam kirim mengirim barang termasuk kepak-mengepak barang, tidak menitipkan pesan apa-apa kepada kakak saya saat itu, untuk harus seperti apa pengiriman. Akhirnya, barang tiba, terbungkus dalam kardus mie instan, masih terikat, namun salah satu bagian sudut kardus sudah terbuka. Sedikit lagi, buku-buku saya brojol keluar. Untunglah masih aman semua.

Pengalaman kedua adalah ketika saya menggunakan jasa pos untuk mengirim wesel. Ya wesel, untuk mengirim uang. Terus terang seumur hidup, ini adalah pengalaman saya satu-satunya mengirim uang menggunakan wesel pos. Pertama dan terakhir. Walaupun sejak SD tentu saya telah diajari guru untuk menggunakan media ini dalam mengirim uang. Entahlah, kenapa saat itu saya tidak langsung mengirim uang ini dengan transfer di bank.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun