Ketika Amerika Serikat dan sekutu Eropanya membekukan sekitar $300 miliar cadangan devisa Rusia pada Februari 2022, sebagai tanggapan atas invasi ke Ukraina, dunia menyaksikan bukan hanya sanksi ekonomi terbesar dalam sejarah modern, melainkan juga eksperimen moneter paling berani sejak runtuhnya sistem Bretton Woods. Dalam hitungan hari, nilai rubel anjlok lebih dari 50% terhadap dolar. Tidak berhenti sampai di situ, sistem perbankan Rusia juga diputus dari jaringan Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT), dan lebih dari 1.000 perusahaan asing menghentikan operasi mereka di negara tersebut.Â
Sanksi-sanksi ini merupakan serangan terkoordinasi pada tiga sektor krusial sekaligus; finansial, energi, dan teknologi. Di sektor finansial, Barat melumpuhkan akses Rusia ke sistem keuangan global melalui tiga langkah utama. Pertama, mereka membekukan sekitar $300 miliar dari total $580 miliar cadangan devisa Rusia, dengan €210 miliar ditahan di Euroclear Brussels dan $100 miliar di Federal Reserve New York (Bruegel Institute, 2022). Kedua, 70% dari sistem perbankan Rusia dikeluarkan dari SWIFT, termasuk 10 bank terbesar, seperti Sberbank, VTB Bank, dan Gazprombank (Regulasi EU No. 833/2014). Ketiga, Bank Sentral Rusia dibatasi aksesnya terhadap lembaga internasional, seperti International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (Regulasi EU No. 269/2022), mengakibatkan Rusia terisolasi dari sistem pengelolaan cadangan devisa global.Â
Di sektor energi, strategi sanksi dirancang untuk memangkas pendapatan devisa utama Rusia. G7 dan Uni Eropa menerapkan price cap sebesar $60 per barel untuk minyak Rusia pada Desember 2022, disertai larangan asuransi bagi kapal tanker pengangkut minyak Rusia (Regulasi EU No. 2022/2474). Langkah ini berdampak pada sekitar 2,8 juta barel ekspor minyak per hari, yang terdiri dari 90% ekspor laut Rusia (IEA, 2023). Embargo penuh Uni Eropa terhadap minyak laut Rusia menghilangkan 1,3 juta barel per hari dari pasar Eropa, yang sebelumnya menyerap hampir separuh ekspor minyak Rusia (Rosstat, 2022).
Sementara itu, sektor teknologi juga tidak luput dari tekanan. AS melarang ekspor chip di bawah 25mm dan teknologi semikonduktor kritis lainnya (BIS, 2022), sementara Ui Eropa membatasi akses Rusia terhadap perangkat lunak desain industri, seperti CAD (Computer-Aided Design) dan CAE (Computer-Aided Engineering) (Annex VII, Regulasi EU No. 833/2014). Dampaknya sangat signifikan, sekitar 65% pasokan chip untuk otomotif Rusia dan 90% untuk pertahanan terhenti (Semiconductor Industry Association, 2023), serta 80% perusahaan manufaktur presisi terdampak (Techcet, 2023).Â
Tekanan multidimensi ini menghasilkan dampak kumulatif yang dahsyat. Menurut IMF pada 2023, sanksi finansial menggerus kapasitas likuiditas Bank Sentral Rusia hingga 52%. Pendapatan energi juga diperkirakan menurun hingga mencapai €100 miliar selama 2022-2023 (Bruegel Institute, 2023), serta kerugian di sektor teknologi mencapai $20 miliar hanya dalam kurun waktu satu tahun (Vedomosti, 2023).
Namun, yang terjadi selanjutnya justru menjadi sebuah studi kasus yang mencengangkan tentang ketahanan ekonomi Rusia di bawah tekanan dan hantaman dari berbagai sisi. Rusia tidak hanya bertahan, tetapi juga menunjukkan kemampuan beradaptasi yang mengejutkan. Ini memaksa kita untuk kembali mempertanyakan fondasi dari sistem moneter internasional yang selama ini begitu terpusat kepada dolar AS.Â
Selama beberapa dekade, dominasi dolar AS telah lama menjadi pilar dalam sistem keuangan global. Menurut IMF (2023), sekitar 60% cadangan devisa global disimpan dalam bentuk dolar, serta 88% dari transaksi valuta asing masih melibatkan mata uang tersebut. Melalui apa yang kini disebut sebagai "dedolarisasi paksa", Rusia mencoba mendobrak status quo dengan menciptakan sistem keuangan alternatif yang tidak lagi bergantung pada dolar dan institusi keuangan Barat.Â
Bank Sentral Rusia merespons krisis awal dengan langkah-langkah yang tidak konvensional. Dalam kurun waktu satu hari, suku bunga acuan melonjak dari 9,5% menjadi 20%, kontrol modal diterapkan, dan eksportir diwajibkan untuk menukarkan 80% pendapatan valas ke rubel (Bank of Russia, 2022). Bahkan, pada bulan April 2022, Rusia sempat mematok nilai rubel terhadap emas sebesar 5.000 rubel per gram. Kebijakan ini terbukti efektif dalam menstabilkan mata uang dan memulihkan kepercayaan domestik. Hasilnya, pada akhir 2022, nilai rubel kembali mendekati posisi awal sebelum krisis melanda.Â
Guna menyiasati pemutusan akses ke sistem pembayaran internasional, Rusia juga memperluas penggunaan mata uang alternatif, seperti yuan, dalam perdagangan bilateral. Pangsa yuan dalam perdagangan Rusia-China melonjak dari kurang dari 5% pada 2021 menjadi lebih dari 35% pada 2023 (Kementerian Perdagangan Tiongkok, 2023). Rusia juga membangun sistem pembayaran bilateral dengan India, Turki, dan Iran. Namun, bukan berarti mekanisme ini bebas dari masalah. Dalam kasus India, Rusia menumpuk rupee dalam jumlah besar sehingga sulit untuk dikonversi (Reserve Bank of India, 2023), menunjukkan keterbatasan likuiditas dalam sistem non-dolar.Â
Di sisi lain, Rusia mengembangkan System for Transfer of Financial Messages (SPFS) sebagai alternatif SWIFT. Sayangnya, menurut Bank Sentral Rusia pada 2024, SPFS baru mencakup sekitar 20% dari transaksi internasional Rusia, dan biaya transaksi melalui sistem alternatif bisa mencapai 3-5 kali lebih mahal.Â
Selain itu, peralihan ketergantungan dari dolar ke yuan menciptakan kerentanan baru. Sekitar 60% dari cadangan devisa Rusia kini berada dalam bentuk yuan, membuat Moskow menjadi rentan terhadap kebijakan moneter yang sewaktu-waktu ditetapkan Beijing (Bank for International Settlements, 2023). Dengan kata lain, dedolarisasi bukan berarti kemandirian secara penuh, tetapi hanya perpindahan tangan pusat ketergantungan.