Mohon tunggu...
Hana Amanda
Hana Amanda Mohon Tunggu... Mahasiswa Hubungan Internasional

Sedang belajar menjadi jack of all trades walaupun (masih) mastering none.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

BRICS+ : Ambisi Menantang Barat atau Hanya Retorika Geopolitik?

13 April 2025   19:42 Diperbarui: 14 April 2025   16:44 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di tengah lesunya sistem ekonomi global serta ketidakseimbangan kekuasaan antarnegara, kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) muncul sebagai kekuatan alternatif atas hegemoni Barat yang telah lama mengakar melalui institusi seperti International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan G7. 

Pada tahun 2024, BRICS memperluas keanggotaannya dengan membuka pintu bagi negara-negara yang ingin bergabung, seperti Iran, Ethiopia, Uni Emirat Arab, dan Mesir. Melalui perluasan ini, BRICS kini dikenal dengan sebutan "BRICS+". 

Pertanyaannya: apakah ini merupakan awal dari tatanan ekonomi baru dunia, atau sekedar pernyataan politis yang tidak memiliki pengaruh nyata dalam mengubah peta kekuasaan global?

BRICS berangkat dari gagasan lima negara yang dianggap memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan global baru. Gagasan tersebut bertujuan untuk membentuk sebuah forum kerja sama ekonomi dan politik bagi negara-negara berkembang, agar negara-negara tersebut memiliki ruang yang lebih besar untuk bersuara dalam sistem internasional. 

Namun, dalam praktiknya, BRICS masih sering dinilai lebih simbolik dibanding substansial. Untuk merespons penilaian tersebut, BRICS kemudian melakukan perluasan menjadi BRICS+ untuk meluruskan penilaian bahwa dominasi negara maju di dalam tubuh forum BRICS sebelumnya kurang tepat. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS tahun 2023 di Johannesburg, Presiden Afrika Selatan, Cyril Ramaphosa, menegaskan bahwa ekspansi keanggotaan adalah langkah strategis untuk mengukuhkan pengaruh Global South dalam sistem internasional. 

Presiden Brazil, Lula da Silva, kemudian menyuarakan sebuah wacana, yakni penggunaan mata uang yang disepakati bersama untuk transaksi antarnegara anggota. Wacana tersebut disuarakan sebagai sebuah upaya dari BRICS+ untuk mengurangi dominasi dolar Amerika Serikat dalam perdagangan global. Dimana wacana tersebut berkembang menjadi salah satu isu yang paling banyak dibahas dalam perbincangan ekonomi internasional. 

Sejalan dengan pernyataan da Silva, beberapa tahun terakhir negara-negara anggota BRICS+, seperti India dan UEA, mulai melakukan transaksi bilateral menggunakan mata uang lokal. Kedua negara tersebut sepakat memperluas penggunaan mata uang Indian Rupee dalam transaksi energi. Begitu pula dengan China dan Rusia yang perlahan mengurangi porsi transaksi dolar dalam perdagangan mereka. 

Sebagai sebuah catatan, eksekusi wacana mengganti dolar sebagai alat transaksi perdagangan internasional bukan perkara mudah. Dolar bukan semata alat tukar dalam perdagangan internasional, melainkan juga simbol kepercayaan publik global terhadap stabilitas ekonomi dan sistem hukum yang dimiliki Amerika Serikat. Menurut IMF pada 2023, lebih dari 58% cadangan devisa dunia masih dalam bentuk dolar (IMF, 2023). 

Jadi, selama tidak ada mata uang alternatif yang stabil, likuid, dan dipercaya oleh pasar global, dolar akan tetap eksis dan dominan. Ditambah dengan fakta bahwa infrastruktur finansial internasional masih berpusat pada negara-negara Barat, seperti SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication) yang turut memperkuat hegemoni dolar dalam sistem ekonomi global bersama IMF dan Bank Dunia. 

Selain isu terkait mata uang bersama, BRICS+ juga menggulirkan wacana terkait integrasi ekonomi di beberapa bidang, seperti ketahanan energi, infrastruktur lintas negara, dan kerja sama teknologi. Beberapa negara anggota BRICS+, seperti Rusia, Iran, dan UEA diketahui memiliki cadangan energi besar. Sementara negara anggota lain, seperti China dan India, merupakan konsumen utama dari energi global. Keterkaitan tersebut dinilai dapat menjadi potensi sinergi yang mampu menciptakan jejaring kerja sama yang lebih efektif.

Catatan lain yang perlu diperhatikan dalam realisasi wacana ini, adalah terdapat perbedaan kepentingan yang berpotensi menjadi penghambat. Dalam konteks kerja sama teknologi, misalnya, China mungkin saja ingin memperluas pengaruhnya melalui ekspansi perusahaan-perusahaan multinasionalnya seperti Huawei, tetapi di sisi lain, India lebih berhati-hati dalam hal ketergantungan teknologi asing. Hal serupa juga dijumpai dalam proses pengembangan proyek infrastruktur lintas batas, yang sering kali terkendala oleh pembiayaan, perbedaan standar hukum, serta ketidakpastian dari situasi politik domestik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun