Menjaga kebhinekaan bukanlah perkara mudah. Ketika individu-individu yang berasal dari berbagai latar belakang, berkumpul bersama, pastilah akan timbul berbagai hubungan yang dinamis. Latar belakang tersebut bisa berupa suku, agama, ras, golongan, asal daerah, status sosial-ekonomi, dan lain sebagainya.
Berbagai sekat-sekat itu tentu saja membuat semua individu punya cara pikir yang berbeda-beda. Punya prinsip yang berbeda. Hingga punya perilaku yang berbeda. Tidak heran, pertemuan atas individu yang berbeda tersebut dalam satu kawasan tertentu, akan melahirkan sebuah hubungan yang dinamis.
Sebenarnya, berada di tengah pusaran keberagaman adalah kekayaan tersendiri. Dengan beragamnya sekelompok orang, maka akan beragam pula pandangan dan wawasan yang dimiliki. Tiap wawasan dan pandangan itu tentunya lahir dari pengalaman hidup yang berbeda-beda. Dengan begitu, kelompok ini akan lebih mapan, lebih bijaksana dalam merespon perubahan, lebih cerdas dalam mengatasi persoalan.
Di sisi lain, keberagaman juga menyimpan tantangan yang tidak ringan. Akan selalu ada ketidakcocokan dan ketidaksesuaian satu sama lain. Tiap individu ataupun kelompok tentunya mengharapkan dirinya atau kelompoknya berada pada posisi yang harus selalu nyaman, atau tidak mau rugi. Keinginan-keinginan ini, yang dibarengi dengan tidak maunya berkompromi dan berdialog, akhirnya berujung pada friksi yang tak diinginkan.
Hal inilah yang menjadi perhatian bagi seorang Bambang Soepijanto. Mantan Dirjen Planologi Kehutanan yang kini menjabat Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia ini bertekad ingin mengayomi semua lapisan masyarakat Yogyakarta. Menurutnya, masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai macam golongan, suku, agama, dan ras.