Mohon tunggu...
Hamzet
Hamzet Mohon Tunggu... Administrasi - Keterangan Profil harus diisi

Lelaki penadah ilmu, pemulung pengetahuan dan (semoga bisa) mengamalkan serta menebarkannya kembali. Kelahiran Kota Probolinggo yang dalam bahasa gaul lazim disebut "Prolink". Kota ini disebut juga Bayuangga (angin, anggur dan mangga).

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Hah, Jaruknya Ilang?

27 Februari 2012   14:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:52 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Afiiikaaaaaaaaaaaaaaa........

Iyaaaaaaaaaaaaa....

Ada yang baru nihhhhh....

Apaaaaaaaaaaa........

Wajah Kompasiana berubah...loh... ga ada orennya...

Yah... jaruknya ilang doonggggggg....

Pagi tadi sekira pukul 06.00 WIB Bang Isjet aka Iskandar Zulkarnaen, melalui dinding fesbuknya menginformasikan penerapan tampilan baru Kompasiana. Didorong rasa penasaran seperti apa gerangan wajah Kompasiana kini, saya segera membuka tab Kompasiana. Begitu mengklik tab, terpajang postingan Uli Elysabeth Pardede yang memang terbuka sejak semalaman. Karena terbuka sejak semalam, tentu tampilan Kompasiana belum berubah. Ada cerita tersendiri mengapa Kompasiana saya biarkan terbuka sementara saya sendiri tertidur (nanti saja, di bagian akhir).

Saya tekan tombol “Ctrl” dan “T” untuk buka new tab. Berikutnya, saya klik ikon Kompasiana yang memang saya bookmark bersama beberapa laman situs. Beberapa detik kemudian muncullah penampakan wajah baru Kompasiana. Saya amati sejenak, gulung layar ke bawah, balik lagi ke atas. Warna jingga tua dan muda yang biasa melintang di bawah logo Kompasiana kini lenyap. Ketiadaan warna oren menghilangkan kesan muda, segar, akrab dan hangat. Padahal ini warna ini perlu untuk mengimbangi “suasana dingin dan kaku” yang dipancarkan warna biru.

Dominasi warna biru dengan gradasinya menancapkan kesan formal dan sensitif. Aura ketenangan dan kesetiaan, yang lazim melekat pada warna biru tidak tampak. Apalagi jika dipadupadankan dengan warna putih dan abu-abu. Singkat kata, tampilan Kompasiana kali ini justru terkesan JADUL. Coba kita bandingkan dengan kanal Fiksiana yang masih berhias warna oren, kelihatan lebih segar, bukan? Sependapat dengan Hawa El Pandani menanggapi Bang Isjet, Kompasiana seperti kurang vitamin C.

Tanggapan beberapa teman, baik dinding Bang Isjet maupun pada postingan Admin Kompasiana, beragam. Ada yang setuju, biasa-biasa saja dan ada yang menyayangkan. Itu baru soal warna, belum beberapa perubahan mendasar yang sepertinya kurang disukai banyak Kompasianer.

Saya sendiri menyesalkan (wah... seperti bahasa diplomat saja), perubahan tampilan fitur dashboard yang menghilangkan “Post Categories” dan “Posts Archive”. Bagi saya, keberadaan dua fitur ini amat penting untuk memantau sejauh mana “ketidakproduktifan” (malu ah mau menulis ‘produktivitas’) saya setiap bulannya.

Sependapat dengan sohib saya Indri Permatasapi eh... Permatasari, pajangan notifikasi aktifitas (yang baku sepertinya Aktivitas, ya?) tanpa menampakkan sebagian bunyi komentar, patut disayangkan. Kompasianer yang ingin tahu bunyi komentar dipaksa membuka kembali postingan yang ditinggalinya jejak. Sungguh tidak efisien.

Fitur “Shout” yang sebelumnya ada, pada tampilan baru ini dihapus. Bagi saya, keberadaan “shout” tidak begitu penting. Jarang sekali saya memakai fitur ini oleh sebab privasi kurang terjaga. Mending menggunakan “message”, yang notifikasinya jelas di dashboard lawan komunikasi.

Saya sangat menghargai upaya kru Kompasiana untuk melakukan perubahan. Tentu perubahan yang saya maksud perubahan ke arah yang lebih baik. Perubahan yang membuat Kompasianer betah ngadem di Kompasiana dan lebih bersemangat untuk menulis. Apalagi jika dapat menarik minat para pengelana dunia maya yang belum bergabung, untuk menjadi bagian dari Kompasiana.

Perubahan penampilan Kompasiana warna biru dengan kombinasi oren dengan yang sekarang ini, menurut saya terlalu terburu-buru. Hal penting yang mestinya dilakukan justru diabaikan. Beberapa contoh hal penting itu misalnya: membatasi masuknya akun-akun siluman, membenahi sistem agar saat Kompasianer membuka Kompasiana tidak seperti naik odong-odong alias jalan ditempat dalam beberapa menit (lola). Begitu pula dengan gangguan keselarasan sistem yang tadi malam saya alami saat hendak memposting sebuah puisi. Ketika menakan tombol publish, muncul pemberitahuan berbunyi: “postingan minimal 70 charakter”.Padahal tulisan yang akan saya posting sudah mencapai 80 kata. Ini yang bego server Kompasiana, apa saya ya? Selama saya sekolah sampai bosan dan hingga ingin sekolah lagi saat ini, 80 kata itu masih tetap melampaui 70 karakter....!!!

13303519801040997962
13303519801040997962

1330352031164200914
1330352031164200914

Karena kejadian itu, saya jadi malas memposting tulisan dan leyeh-leyeh sampai terlelap sampai pagi. Berkomentar di lapak Uli (pada gambar di atas) pun jadi lupa saya lakukan.

So, saya berharap Kompasiana lebih memilih pembenahan hal-hal yang selama ini dikeluhkan Kompasianer daripada merubah tampilan yang hasilnya justru mengendorkan semangat akibat kekurangan Vitamin C...!

Balikin... oh.. oh... balikin.... Kompasiana gue kayak dulu lagi.....

kemana pancaran jingga penghangat jiwa

kemana luapan gairah pengelana kata

diri seakan terlempar ke rimbun belukar masa silam

semangat luruh menguap ke langit biru

gradasi warna senada membuatku kaku beku

jemari terpasung formalisme

menyingkirkan keakraban persahabatan

memang, itu sekadar rasa

tapi bukankah rasa tak bisa berbohong?

13303522761093979691
13303522761093979691

Courtessy: Indri PermatasariHawa,  for your ideas.

| HAMZET | penyair kenthir berdarah | Probolinggo | 270212 |

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun