Puisi ini memberi agensi kepada sampah: "sampah tau betul akan kemana". Ini menantang asumsi lama bahwa manusia adalah penguasa realitas, sementara benda-benda seperti sampah adalah objek mati.
Dalam pandangan dekonstruktif, ini adalah momen pembalikan pusat. Sampah menjadi entitas yang aktif, bukan hanya dibuang tapi juga kembali. Bahkan, ia menyusup ke dalam "tubuhmu dan tubuhku". Relasi kuasa antara manusia dan sampah pun dibalik: kitalah yang kini dikuasai oleh sampah.
2. Mengaburkan Hidup dan Mati: Ontologi yang Retak
Derrida, membongkar batas-batas ontologis tradisional. Dalam puisi ini, sampah tidak lagi seperti tanpa nyawa. Ia menjadi ambiguitas yang menakutkan: tidak sepenuhnya hidup, namun juga tidak sepenuhnya mati.
Kita dipaksa mempertanyakan ulang: apakah yang disebut hidup hanya terbatas pada yang bernapas? Ataukah sesuatu dianggap hidup bila ia hadir, berpengaruh, dan mengganggu kesadaran kita?
3. Ruang yang Kacau: Tong, Ledeng, dan Halaman
Frasa "rumahnya yang tong / persinggahannya di ledeng" mencerminkan keinginan manusia akan keteraturan. Namun dalam puisi ini, sampah justru menyusup ke ruang yang tak seharusnya: halaman, tubuh, ruang publik. Ini mencerminkan teori Derrida tentang invasi teks terhadap ruang pusat. Seperti logocentrisme ---kecenderungan budaya Barat untuk menganggap kata-kata, terutama ucapan (spoken word), sebagai pusat makna dan kebenaran--- yang dikritiknya, keinginan manusia akan pusat, kendali, dan kebersihan adalah ilusi.
Sampah membongkar ilusi itu. Ia hadir di tempat ramai, menyaksikan kehidupan, menjadi bagian darinya. Dengan begitu, ruang-ruang sosial pun kehilangan kejelasan batasnya.
4. "Mata Leluasa Saling Pandang": Siapa yang Mengawasi Siapa?
Barangkali baris paling misterius adalah:
mata leluasa saling pandang