Di tengah gempuran arus digital yang tak terbendung, semua orang kini bisa menjadi penyampai informasi. Namun, di balik kemudahan ini, muncul tantangan baru: menjaga etika dan privasi dalam bermedia. Tidak semua hal harus menjadi konsumsi publik, dan tidak semua data layak dibagikan hanya demi eksistensi. Saatnya kita membangun budaya bermedia yang sehat, sadar, dan bertanggung jawab.
Etika Bermedia Adalah Pilar Kehidupan Digital
Bermedia bukan sekadar soal kemampuan mengoperasikan perangkat. Lebih dari itu, ia menuntut kedewasaan dalam berpikir, bertindak, dan menyikapi informasi. Etika bermedia hadir sebagai panduan untuk menjaga agar ruang digital tidak menjadi sarang hoaks, perundungan, atau eksploitasi data pribadi.
Dalam Islam, menjaga lisan adalah bagian dari iman. Di era digital, 'lisan' itu bisa berupa tulisan, gambar, atau video yang kita unggah. Rasulullah SAW bersabda: 'Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.' (HR. Bukhari dan Muslim).
Privasi Adalah Hak, Bukan Barang Publik
Sering kali, tanpa sadar kita membagikan data yang sangat personal: lokasi rumah, aktivitas anak, bahkan masalah keluarga. Padahal, data itu bisa saja disalahgunakan. Kasus pinjaman online ilegal, pencurian identitas, hingga pelecehan digital seringkali berawal dari keteledoran menjaga privasi.
UNESCO menyebut bahwa literasi digital adalah keterampilan hidup yang harus dimiliki setiap warga negara. Artinya, kita semua wajib belajar memilah apa yang pantas dibagikan dan apa yang seharusnya disimpan dalam ruang privat.
Ketika FOMO Membutakan Logika