TIDAK UNTUK KETIAK DAN MULUT BERBAU
Secara umum dapat disimpulkan bahwa cacat dalam pernikahan ada tujuh; tiga diderita oleh suami dan isteri berupa gila, lepra dan barash. Dua cacat yang disandang suami yaitu alat kelamain terputus dan lemah syahwat atau impotensi. Sedangkan dua hal yang diderita oleh isteri adalah lubang kelaminnya tersumbat dengan daging dan di dalamnya ada tulang.
Sebagian besar ulama sepakat bahwa selain itu atau yang dikiaskan dengannya, tidak termasuk alasan untuk mengembalikan pasangan ke keluarganya yaitu ketiak dan mulut berbau busuk, sekalipun tidak dapat diobati dan darah yang terus menerus keluar bagi perempuan selain darah haid. serta kemandulan karena sang suami atau isteri.
Meski begitu ada sebagian ulama yang tetap membolehkan, kalau memang dirasakan akibat hal-hal buruk yang terdapat pada  suami atau isteri menyebabkan semakin jauhnya hubungan, baik hubungan seksual ataupun hubungan sosial.
Â
Penyakit atau cacat sebagaimana di atas yang membolehkan untuk mengembalikan kepada keluarganya. Pendapat ulama akan hal tersebut karena dalam peristiwa akad nikah itu merupakan akad tukar ganti yang bisa dituntut, artinya bisa dikembalikan.
Namun perlu dipahami bahwa dalam fiqh ada kaidah "al Ijtihad la yunqadlu bil ijtihad" artinya ijtihad atau pendapat ulama yang sudah ada tidak batal sebab adanya pendapat lain. Hal ini ingin menegaskan bahwa seiring dengan perkembangan teknologi dan budaya ada perubahan kebiasaan dan pengobatan yang semakin cangggih, sehingga memungkinkan untuk disembuhkan atau dijadikannya normal. Sehingga tidak menjadikannya masalah.
Begitu pula bila keduanya menerima atas cacat yang diderita oleh pasangannya dan tidak melakukan upaya pengembalian kepada keluarganya tidaklah perlu dipaksakan dan propokasi, asalkan saja hubungan suami isteri tetap harmonis dan menjadikan kekurangannya sebagai hal manusiawi, karena masih ada sebab lain yang membuatnya mereka bahagia selain masalah seksualitas.
 Sumber referensi Kitab Kifayatul Akhyar Karya Imam Taqiyuddin Abubakar Bin Muhammad Alhusaini, terj. KH. Syarifuddin Anwar dan KH. Misbah Musthafa, Penerbit Bina Iman Surabaya. Dan Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar oleh Drs. Moh. Rifa'i, Drs. Moh. Zuhri dan Drs. Salomo, Penerbit Karya Toha Putra, Semarang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI