Mohon tunggu...
Hamim Thohari Majdi
Hamim Thohari Majdi Mohon Tunggu... Lainnya - Penghulu, Direktur GATRA Lumajang dan Desainer pendidikan

S-1 Filsafat UINSA Surabaya. S-2 Psikologi Untag Surabaya. penulis delapan (8) buku Solo dan sepuluh (10) buku antologi

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Batalkan Saja Perkawinannya

31 Januari 2023   08:50 Diperbarui: 31 Januari 2023   08:59 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 22 memberi celah pembatalan perkawinan  ( sumber gambar : Hamim Thohari Majdi )

Pembatalan atau membatalkan perkawinan bukan berarti main-main atau membuat permainan dalam perkawinan, karena ada beberapa hal yang justru  harus dibatalkan ketika perkawinan yang dilakukan benar-benar melanggar hukum agamanya, baik yang bersangkutan mengatahui atau tidak. 

Tentu saja pembatalan perkawinan ini tetap mengajua kepada tujuannya, yaitu membangun keluarga yang bahagia kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini jelas bahwa unsur (Hukum) agama menjada landasan perting dalam perkawinan atau membangun rumah tangga. Untuk itu perlu ada kepastian terpenuhinya syarat dan rukun walau perkawinanya sudah terlanjur dilaksanakan.

Upaya pembatalan perkawinan juga mencegah terhadap kesalahan yang berkelanjutan, karenanya bila ada pihak yang mengetahui akan hal itu haruslah  melakukan upaya pembatalan.

Sebagaimana penjelasan Pasal 22 Undang-Undang perkawinan nomor 1 Tahun 1974, kata "batal" bisa diartikan bisa dibatalkan atau tidak bisa sepanjang hukum agamanya tidak menentukan lain.

PARA PIHAK YANG BISA MEMBATALKAN PERKAWINAN

Pihak-pihak yang bisa membatalkan perkawinan sebagaimana tersebut dalam Undang-Undang nomor 1 Tahun 1974 pasal 23 yaitu :

  • para keluarga dan garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri
  • Suami atau isteri sendiri
  • Pejabat yang berwenang selama perkawinan belum diputuskan

Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana termaktub dalam pasal 73 huruf d menyebut secara spesifik yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat yang berwenang mengawasi Perkawinan menurut Undang-Undang.  KHI memberikan tambahan pihak yang bisa mengajukan pembatalan perkawinan, yaitu para pihak yang mengetahui cacat syarat dan rukun sesuai hukum Islam dan ketentuan Perundang-Undangan.

Mengingat sakralnya sebuah perkawinan, KHI memberikan ruang yang lebih luas (masyarakat umum) untuk melakukan pembatalan atas perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukun serta ketentuan perundang-undangan. Sebab di mungkin bila pihak yang berkepentingan (masyarakat umum) mengetahui akan perkawinan yang perlu dibatalkan, tetapi tidak memliki ruang dalam penyaluran, maka pihak yang sudah ditetapkan dalam Undang-undang nonor 1 Tahun 1974 belum tentu mau atau bahkan ada istilah "ewuh kapekuh" atau maju kena munur kena.

MELANGGAR HUKUM AGAMA

Pelanggaran terhadap  hukum agama merupakan hal pokok yang harus dibatalkan perkawinanya, di antaranya ; Seorang suami  lebih dari empat (poligami).  Larangan ini karena dlam Islam bahwa seorang isteri. menikahi  bekas isteri yang telah di li'an (dituduh berzina), menikahi mantan isteri yang sudah ditalak tiga kali kecuali mantan isterinya sudah menikah dengan orang lain dan dalam keadaan janda. Serta perempuan yang mempunyai hubungan darah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun