Mohon tunggu...
Fathul Hamdani
Fathul Hamdani Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Tak penting dimana kita terhenti, namun berikanlah penutup/akhir yang indah

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menggagas Peradilan Etik bagi Pejabat Negara

20 September 2019   17:16 Diperbarui: 30 Juni 2020   08:54 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fenomena pelanggaran hukum oleh pejabat negara seolah-olah merupakan hal yang sudah biasa, seperti korupsi misalnya seakan-akan menjadi hal yang biasa di kalangan para pejabat. Pelanggaran etika belum tentu pelanggaran hukum, namun pelanggaran hukum sudah tentu pelanggaran etika. Etika dan nilai moral pejabat negara tentunya menjadi pertanyaan, ketika fenomena pelanggaran hukum seperti korupsi misalnya yang dari tahun ke tahun semakin memperihatinkan. Korupsi tak hanya menjangkiti lembaga legislatif, tapi juga marak di institusi eksekutif seperti kementerian dan lembaga (K/L) hingga pemerintah daerah dengan dinasti politiknya.

Mengutip pendapat dari Prof. Jimmly Ashiddiqie bahwa hukum tanpa etika bagai kapal dilautan yang kering. Adapun H.L.A Hart mengungkapkan suatu negara tidak akan bisa berjalan tanpa hukum dalam bingkai norma (prinsip fundamental) yakni prinsip-prinsip moral. Maka pancasila sebagai Philosophical Grondslag bangsa Indonesia telah menuangkan nilai-nilai fundamental sebagai pedoman dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Nilai-nilai moral yang tertuang didalam pancasila sebagai ideology bangsa Indonesia yang merupakan Negara hukum sebagaimana termaktub didalam pasal 1 ayat (3) haruslah berjalan beriringan agar harmonisasi di dalam pelaksanaan pemerintahan suatu negara berjalan dengan baik. Cita-cita bangsa Indonesia untuk mewujudkan good government and clean government dari waktu ke waktu seakan berjalan begitu lamban, moral dan etika pejabat negara sebagai pemangku amanah yang diberikan masyarakat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat belum mampu terbingkai dalam mewujudkan pemerintahan sebagaimana tertuang di dalam alenia ke-4 pembukaan UUD NRI 1945.

JJ. Rousseau seorang filsuf Prancis abad ke-XVIII dalam teori kontrak sosialnya menyatakan bahwa "masyarakat pada dasarnya telah menyerahkan kehendak-kehendaknya terhadap pemerintah untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan dan penghidupan yang lebih baik". 

Pernyataan tersebut sejatinya telah memberikan makna bahwa tanggung jawab yang diemban oleh pejabat Negara dalam rangka mewujudkan kehendak rakyat haruslah didasarkan atas prinsip-prinsip moral dan etika. Moral dan etika pejabat Negara yang kian lama semakin luntur seakan-akan pemerintahan yang didambakan masyarakat berada dalam bayang-bayang semata. 

Maka perwujudan dari pemerintahan yang baik akan terlaksana apabila keseriusan pemerintah tertuang dalam bentuk peradilan etik atau court of ethics sebagai peradilan yang berwenang untuk mengadili etika pejabat Negara. Lebih jauh dikatakan bahwa ketika rakyat telah berdaulat dan berkehendak menginginkan adanya suatu perubahan, yakni dengan melihat keadaan saat ini yaitu bobroknya etika pejabat negara. 

Maka  sebagaimana cita-cita hukum atau ius constituendum bangsa Indonesia  yang seyogiyanya dalam sistim etika juga perlu adanya suatu rule of ethics yang terdiri atas perangkat code of ethics dan court of ethics atau peradilan etik yang kemudian menjadi landasan perlunya pembentukan peradilan etik bagi pejabat negara, karena sampai saat ini peradilan etik hanya terbatas pada internal kelembagaan semata.

Dengan merujuk pada pengertian pejabat Negara sebagaimana yang tertuang di dalam UU RI No. 5 tentang Aparatur Sipil Negara adalah: a). Presiden dan wakil presiden, b). ketua, wakil ketua, dan anggota MPR, DPR, dan DPD, c). Ketua, Wakil ketua, dan Anggota MK,MA, KY, BPK, KPK, d). Gubernur, wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota, e). Serta pejabat lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang. 

Suatu adagium yang sering kita dengar yakni Lex Legibus Sine Moribus yang berarti bahwa hukum tak berarti tanpa adanya moralitas, maka sejatinya hukum tidak berarti banyak apabila tidak dijiwai oleh moralitas. Ungkapan ini kemudian sejalan dengan pancasila sebagai Philosophical Grondslag bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi etika dan nilai moral.

Keberadaan UUD NRI 1945 sebagai staatgrundgesetz yang terbentuk sebagai penjabaran konkret dari grundnorm atau Hans Nawiasky kemudian menyebutnya sebagai staatfundamental norm. Suatu staatgrundgesetz harus tidak boleh bertentangan dengan grundnorm sebagai norma dasar tertinggi yang berisikan materi moral dan etika. Transformasi rule of ethic yang tersirat dalam Pancasila sebagai source of the source dari struktur hukum Indonesia, mengehendaki nilai konkret dalam praktik penyelenggaraan negara. Dalam UUD NRI 1945, rumusan norma etika setidaknya dapat ditemukan melalui larangan bagi penyelenggaran negara untuk melakukan perbuatan tercela.

Sebagaimana Ketetapan No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa yang diantaranya mengamanatkan perlunya mengaktualisasikan etika pemerintahan yang pada intinya menjunjung tinggi integritas berbangsa dan bernegara dengan mengedepankan nilai kejujuran, amanah, keteladanan, sportivitas, disiplin, etos kerja, kemandirian, sikap toleransi, rasa malu, tanggung jawab, menjaga kehormatan, serta martabat diri sebagai warga Negara. Maka dalam aktualisasinya dibutuhkan suatu lembaga peradilan yang bertujuan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang berintegritas dan bertanggung jawab. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun