Bimbel rumahan. Dua kata yang, mau tidak mau, melibatkan saya dalam kehidupan di masa kiwari. Sebenarnya saya tidak mau terlibat di dalamnya, tapi karena kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja, saya terpaksa berkompromi dengan keadaan dan menerima tawaran mengajar di bimbel rumahan, yaitu bimbel Tania (bukan nama bimbingan belajar sebenarnya).
Saya pernah mengajar di bimbel Tania sekitar sepuluh tahun yang lalu dan sekarang saya kembali mengajar di bimbel ini. Tentu saja, saya mengira, ada perubahan, dalam artian lebih tertata dan teratur. Sayangnya, alih-alih membaik, yang saya lihat justru sebaliknya, yaitu semakin memburuk.
Meskipun saya tidak terlibat dalam bimbel-bimbel rumahan lainnya, saya kira, permasalahan-permasalahan yang berada di dalam ruang lingkup bimbel rumahan kurang lebih sama, karena kebanyakan melibatkan anggota keluarga dalam menjalankan usaha bimbel.
Ada beberapa bimbel rumahan yang legend di Samarinda. Saya tidak perlu menyebutkan nama-nama bimbel tersebut, tapi yang pastinya bimbel-bimbel tersebut tidak mempunyai plang nama dan bangunan bimbel terbuat dari kayu. Bisa dibayangkan betapa tuanya rumah-rumah bimbel rumahan tersebut.
Bagaimana nasib bimbel-bimbel rumahan tersebut sekarang? Yang dulunya ramai dengan murid-murid di pagi dan sore hari, saat ini bimbel-bimbel tersebut sunyi senyap. Tidak ada lagi kerumunan anak-anak yang belajar di sana. Yang ada saat ini hanya keheningan, kesunyian tiada akhir.
Mengapa bimbel rumahan tak bertahan lama?
Dari come back-nya saya di bimbel Tania selama beberapa bulan ini, ditambah kenyataan di lapangan dengan mencermati bimbel-bimbel rumahan yang sudah tidak beroperasi lagi, saya memberanikan diri untuk merumuskan alasan mengapa bimbel rumahan tak bertahan lama.
Menurut saya, ada 3 (tiga) penyebab mengapa bimbel rumahan tak bisa bertahan lama:
1. Rapuhnya sistem pencatatan keuangan dan pendataan murid
Hal yang menjadi persoalan paling mendasar dan menjadi "darah" untuk keberlangsungan bimbel rumahan adalah pendapatan. Dalam setiap bisnis, apa pun itu, cashflow atau arus kas adalah hal yang mutlak harus terus mengalir supaya bisnis tetap hidup; dan tentu saja, untuk memastikan "kesehatan" keuangan bimbel, pencatatan keuangan yang rapi dan jujur adalah sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Sayangnya, kalau melihat kondisi bimbel Tania sepuluh tahun yang lalu dan dibandingkan dengan saat ini, sistem pencatatan keuangan bimbel sangatlah carut-marut. Uang masuk dan keluar tidaklah jelas.Â
Dan diperparah lagi dengan tidak adanya pendataan murid bimbel yang tertuang secara tertulis. Hanya menulis nama depan murid atau hanya mengetahui nama panggilan murid tanpa mengetahui secara lengkap nama murid, kelas dan sekolah dimana murid belajar secara formal, alamat tempat tinggal, nama orang tua, pekerjaan orang tua, nomor kontak (WhatsApp) yang bisa dihubungi, dan pernak-pernik lainnya, bimbel bagaikan wadah yang hanya menampung murid, tapi tidak mengenal murid-murid tersebut secara mendalam. Murid hanya menjadi 'objek', bukan 'subjek'.
Ketiadaan tenaga administrasi dan tenaga tata usaha yang secara 'sah' hadir menjadi persoalan yang sebetulnya tidak perlu terjadi. Rangkap jabatan sebagai guru dan juga tenaga administrasi dan tenaga tata usaha yang dijalani oleh anak dan keponakan Tania sepertinya tidak efektif untuk menambal kebocoran keuangan dan mengungkap kebutaan akan jumlah total murid bimbel yang sebenarnya.