Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dan Penjajahan Itu Bernama "Dress Code"

4 Agustus 2025   10:17 Diperbarui: 4 Agustus 2025   11:33 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dress code (Sumber: KOMPAS.com/FIRDA JANATI)

"Nanti kita pakai baju merah ya pas acara."

Sekali lagi, di kesempatan yang berbeda di tahun berikut di masa lalu, Leni (bukan nama sebenarnya), salah satu pemimpin dalam komunitas menganjurkan kami memakai baju kotak-kotak di acara tahun tersebut.

Secara pribadi, saya tidak suka dengan acara-acara dengan aturan "dress code" yang seakan menjajah kebebasan berbusana warga. Bagi saya, penjajahan di era kekinian (meskipun dulu sudah ada, tapi tidak seramai seperti saat ini) adalah "dress code".

"Dress code" sebagai penjajahan di masa kini?

Anda mungkin tidak sependapat dengan saya. Sah-sah saja untuk berbeda opini. Bagi saya, pengaturan "dress code" adalah salah satu penjajahan yang sangat menjengkelkan. Ada 3 (tiga) alasan yang mendasari untuk itu:

1. Menguras pendapatan

Ini yang jelas-jelas nyata. Terkadang (atau malah sering kali), beberapa orang latah dengan berbagai kegiatan yang "harus" menggunakan "dress code", padahal tidak mesti-mesti amat. Masih bisa menggunakan pakaian lain, asalkan bebas pantas dan sopan.

Tidak semua orang berada dalam kondisi keuangan yang bagaikan sultan, tajir melintir, atau pagugada alias apa yang gue mau, gue ada. Tidak semua orang berada dalam situasi privilege karena insan tersebut adalah anak sultan atau cucu konglomerat tertentu.

Seperti contoh saya yang bukan siapa-siapa, dari keluarga yang "kaya tidak, miskin pun gak", berprofesi sebagai guru yang biasa-biasa saja dengan pendapatan yang semenjana, sehingga uang yang masuk dan keluar harus diperhitungkan dengan bijaksana.

Apalagi kalau dress code tersebut ada tulisan di depan, lengan, atau belakang pakaian. Tentu saja, tidak sebebas kalau mengenakan baju dengan warna dominan dan polos tanpa tulisan atau gambar. 

2. Menyeragamkan tampilan dan paradigma

Dari pendidikan dasar, menengah, bahkan sampai pendidikan tinggi, kita erat dengan yang namanya "dress code". Baju seragam sampai jaket almamater melekat di badan kita, seakan untuk menunjukkan jati diri berada dalam suatu lingkup tertentu. Apakah benar begitu? Menurut saya sih tidak sebatas "bergabung" dalam suatu lingkaran, tapi lebih dari itu.

Menyeragamkan tampilan. Ini hal pertama yang terlihat. Menurut saya, kalau sekadar untuk menunjukkan asal sekolah atau perguruan tinggi dimana sang insan bersekolah atau berkuliah, itu bukan masalah. Sayangnya, sepanjang mata memandang, seragam disalahartikan di negeri +62 ini. 

Kalau dikaitkan dengan pendidikan, seragam bukan sekadar masalah 'penyamaan" busana, namun juga identik, atau lebih tepatnya, harus sama dalam paradigma. Tidak percaya? Coba saja lihat bagaimana kebanyakan guru mengajar di dalam kelas (nanti akan kita bahas lebih mendalam di poin ketiga).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun