Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pelajaran Hidup dari 3 Studi Kasus

16 Juni 2023   19:17 Diperbarui: 16 Juni 2023   19:26 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi(WOKANDAPIX via Pixabay.com)

Banyak hal dalam hidup ini yang bisa menjadi bahan pelajaran bagi kehidupan kita yang penuh lika-liku. Pengalaman hidup diri sendiri atau orang lain bisa memberikan nilai tambah bagi kita untuk memperbaiki diri, atau tidak jatuh di lubang keterpurukan yang sama.

Sesuai dengan judul, ada 3 (tiga) kasus dari beberapa kenalan yang dapat menjadi masukan dan pembelajaran bagi kita. Tentu saja, dalam hal ini, nama-nama berikut yang terlibat bukanlah nama yang sebenarnya, untuk menjaga kerahasiaan identitas mereka.

Studi Kasus 1 - Berpisah kota

Robert terbaring tak berdaya di rumah sakit. Untuk kesekian kalinya, entah sudah berapa kali, dia harus "menginap" di rumah sakit tersebut.

Usia sudah senja, jantung sudah tidak prima, asma timbul seenaknya saja.

Selang infus bergelayut dengan jarum menembus lengan kirinya. 

Dia seorang diri.


Istri dan dua anak perempuannya tidak bersamanya. Mereka tidak ada di Samarinda. Mereka berada di kota Balikpapan, kurang lebih seratus kilometer jaraknya dari Kota Tepian.

"Aneh juga Susan. Kenapa dia bisa begitu tega! Anak anaknya juga. Masa meninggalkan suami dan ayah seorang diri di rumah sakit! Kalau ada apa-apa, bagaimana?" kata Rosa, teman satu gereja.

"Sampai-sampai dia keluar dari WA Group. Mungkin jengkel karena kita mempertanyakan terus padanya..."

Dan sampai tulisan ini dibuat, Susan dan anak- anaknya tetap di Balikpapan.

Studi Kasus 2 - Syarat dan Ketentuan berlaku

Sudah lebih dari 15 tahun. 

Begitulah kondisi Dodi, seorang kenalan, yang berpisah raga dengan istri dan anak semata wayang.

Bukan karena mereka meninggal dunia, tapi sang istri, Lastri, meninggalkan suaminya karena sudah tidak tahan hidup susah dan tidak mau lagi tinggal di kamar kos nan sempit dan panas tak terhingga.

"Aku dan Rina akan kembali kalau kamu sudah punya rumah sendiri. Bukan kamar kos, rumah kontrakan. atau rumah orangtuamu," kata Lastri 15 tahun yang lalu.

Ada syarat dan ketentuan yang harus Dodi penuhi. Syarat yang mungkin tidak akan pernah dia raih, menimbang profesinya sebagai driver ojek online (ojol) yang mempunyai pendapatan yang tidak seberapa setiap bulannya jika diakumulasi.

Lastri ingin bercerai beberapa tahun yang lalu, karena dia sudah tak sabar menunggu "rumah idaman" dan ingin menikah dengan laki-laki lain.

"Aku tak ingin bercerai," jawab Dodi.

Satu kalimat singkat.

Sekarang anak satu-satunya, Rina, akan lulus SMA tahun ini.

"Aku kehilangan masa-masa indah tumbuh kembang Rina. Sebentar lagi dia lulus SMA. Apa cuma sampai SMA saja pendidikannya?" curhat Dodi.

Dodi termangu menatap sepi di malam itu sambil memandang foto anaknya di smartphone.

Studi Kasus 3 - Satu Kapal, Dua Nakhoda

"Siapa kamu?"

"Siapa saya?"

"Siapa saja!"

Dua pertanyaan awal yang menyedihkan dan ditutup dengan satu pernyataan nyelekit yang antiklimaks.

"Pertanyaan 'Siapa kamu?' bagi cewek sok jual mahal yang menghadapi siapa pun cowok yang mendekatinya.

"Lontaran 'Siapa saya?" yang dilayangkan sang cewek yang sudah melewati usia kepala tiga yang sudah mendekati keputusasaan. 

"Pada akhirnya, 'Siapa saja!' mengemuka. Tanda kesabaran sudah lenyap entah kemana. Insan berjenis kelamin laki-laki, sedikit saja memberi perhatian, akan langsung mendapat 'lampu hijau' dari sang perempuan..." 

Terkesan Joni mendiskreditkan, tapi pada dasarnya mengandung kebenaran.

Mira menerima lamaran dari sang pacar, Handoyo, yang belum terlalu dikenalnya.

"Kakakku mengiyakan tanpa berpikir panjang. Dia merasa sudah sangat terlambat untuk menikah dan menerima apa yang ada, meskipun jauh dari harapannya.

"Padahal orangnya sudah berbuat tak senonoh sebelum menikah. Sebenarnya kami tidak setuju dengan pilihannya. Tapi dia tetap bersikukuh.

"Ya, sudah. Dia yang menjalani bahtera rumah tangga. Bukan kami. Dia juga tidak pernah mendiskusikan perihal calon suaminya pada kami.

"Sekarang dia baru menyesal..."

Rio, adik Mira, mengutarakan kilas balik dan penyesalan sang kakak sekarang.

Menikah secara Katolik, meskipun Handoyo seorang Kristen, tapi bukan Kristen yang taat. Istilahnya, Kristen KTP.

Akibatnya, pendidikan anak terutama soal agama tidak diperhatikan. Handoyo tak pernah membawa istri dan anak ke gerejanya. Mira membawa sang anak, Dani, ke gereja Katolik di hari Minggu, meskipun tidak rutin.

Handoyo memang ikut ke gereja Katolik, tapi hanya sampai di halaman gereja. Dia tidak ikut menghadiri ibadah. Dia hanya mengantar anak dan istrinya. Selebihnya ada dua pilihan di benaknya: menunggu anak dan istrinya selesai ibadah dengan menikmati gorengan di warung terdekat atau pergi ke rumah kenalan dan menjemput istri dan anak saat ibadah usai.

Tiga pelajaran hidup

Dari tiga studi kasus sebelumnya, kita dapat menarik 3 (tiga) pelajaran hidup.

1. Pilihlah calon yang seiman, taat beribadah, rajin bekerja, dan punya karakter yang baik

Mungkin ada di antara Anda yang tidak sependapat, tapi apa yang saya temui dari pengamatan dan pengalaman hidup membuktikan kalau iman suami dan istri yang berbeda lebih banyak menimbulkan masalah saat sudah berumah tangga dibandingkan dengan pasangan yang seiman.

Yang seiman saja belum tentu langgeng pernikahannya, apalagi kalau tidak seiman. Dan juga, iman yang berbeda akan menimbulkan masalah saat mempunyai anak karena menyangkut agama apa yang akan dianut sang anak.

Mengenai persoalan mendidik anak, akan kita bahas di pelajaran hidup kedua.

Yang jelas, seperti yang mungkin pernah Anda dengar, seperti saya mendengarnya dari seorang kenalan, sebut saja Joko, dia mengatakan, "Sebelum menikah, buka mata lebar-lebar. Sesudah menikah, tutup mata rapat-rapat."

Maksudnya, sebelum menikah, kita harus mengetahui seluas-luasnya perihal calon pasangan. Bukan sekadar seiman (ini harga mati!), namun juga tentang ketaatan dalam beribadah (realita, bukan rekayasa), bagaimana dia berhubungan dengan Sang Pencipta.

Rajin bekerja adalah juga poin penting, karena menyangkut tanggung jawab kepada keluarga secara ekonomi, khususnya bagi para laki-laki yang akan mengemban tugas sebagai kepala keluarga.

Dan yang paling utama adalah punya karakter yang baik. Mungkin agak susah menggambarkan seperti apa karakter yang baik, karena setiap orang mempunyai sudut pandang yang berbeda.

Tidak cerewet dalam soal makanan.

Berpikiran terbuka dan mau belajar tanpa henti, khususnya dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

Suka membaca buku dan sumber-sumber tertulis lainnya.

Salah tiga di atas adalah beberapa karakter yang baik versi saya ditinjau dari penerapan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin terlihat sepele bagi beberapa orang, tapi menurut saya, mengaplikasikan dari segala sesuatu yang terkesan 'kecil' adalah langkah awal yang lebih berdayaguna daripada mengambil komitmen yang terlalu besar.

Seiman, taat beribadah, rajin bekerja, dan punya karakter yang baik. Empat hal dalam paket pertama. Kita berlanjut ke paket kedua.

2. Pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama

"Kalau soal pendidikan anak, aku serahkan sama Mamanya."

Pernyataan dari Andrew tentu saja tidak asing di telinga saya, dan saya yakin sebagian besar dari Anda yang membaca tulisan ini juga sudah lazim mendengar dari sekitar kehidupan, atau malah mungkin mempunyai pendapat yang sama dengan Andrew.

Secara pribadi, saya sangat tidak setuju dengan pendapat Andrew dan kebanyakan bapak-bapak pada umumnya. Ayah dan Ibu adalah two in one. Dua dalam satu. Tidak bisa hanya ibu saja yang mendidik, atau sebaliknya, hanya ayah yang berperan dalam tumbuh kembang anak.

Kalau boleh, saya mengutip salah satu ayat Alkitab, yaitu Amsal 17:25 yang berbunyi, "Anak yang bebal menyakiti hati ayahnya, dan memedihkan hati ibunya."

Dari ayat tersebut, sudah jelas terpampang nyata bahwa ayah dan ibu bertanggung jawab sepenuhnya secara bersama dalam pendidikan anak. Mereka yang merasakan langsung hasil didikan mereka pada sang anak. Sukses atau gagalnya seorang anak dalam menjalani kehidupan tergantung dari bimbingan orangtua sejak dini.

Dalih 'sibuk bekerja' dan 'lelah setelah seharian bekerja' seharusnya tidak menjadi pembenaran bagi para bapak.

Pendidikan buah hati bukan monopoli para emak, tapi juga harus ada andil dari para bapak.

3. Pastikan calon pasangan setia dalam suka dan duka

Menguji seseorang dalam suka tidaklah sukar. Yang menjadi persoalan adalah menguji kesetiaan seseorang dalam proses duka atau kesukaran.

Apakah pasangan tetap setia, mengarungi berbagai kesulitan bersama-sama?

Sayangnya, survei tidak resmi dari saya tidak menunjukkan hal tersebut. Studi kasus 1 dan 2 memperlihatkan kesetiaan yang patah saat duka melanda.

Mungkin Anda bertanya-tanya, kenapa pihak yang tidak setia dalam studi kasus 1 dan 2 adalah perempuan. Dalam hal ini, saya tidak bermaksud mendiskriminasi. Kebetulan, saya menemui kasus-kasus ketidaksetiaan perempuan.

Kaum laki-laki tentu saja juga bisa tidak setia terhadap pasangannya, dan sudah menjadi rahasia umum. Sayangnya lagi, saya tidak mendapatkan kisah pengalaman ketidaksetiaan suami dari para kenalan sejauh ini (Mungkin ada, tapi saya tidak mendapatkan informasi; atau saya tahu, tapi sudah lama kejadiannya, sehingga saya lupa).

Dari studi kasus 1 dan 2, terlihat kalau faktor finansial membuyarkan kesetiaan dalam keluarga. Keinginan "cepat menjadi kaya" dan "tidak mau hidup susah" membuat lupa akan janji nikah.

Oleh karena itu, memastikan karakter setia calon pasangan sebelum menikah adalah suatu langkah bijak untuk mengantisipasi timbulnya kekecewaan di kemudian hari.

Karena memang uang bukan segalanya, tetapi segalanya butuh uang. Apabila uang tidak ada, apakah tetap setia?

Oleh karena itu, menguji calon pasangan sebelum menikah khususnya di saat tidak punya apa-apa akan menjadi modal kesetiaan setelah menikah.

Memang tidak ada kepastian apabila calon pasangan lulus ujian kesetiaan di masa sukar sebelum menikah akan juga lulus ujian kesetiaan setelah menikah, namun paling tidak, itu bisa menjadi landasan bahwa calon pasangan kuat dan tegar dalam menghadapi hebatnya badai kehidupan.

* * *

Pelajaran hidup senantiasa ada di lingkar kehidupan setiap hari. Dari setiap kasus, baik itu yang kita alami sendiri atau pengalaman orang lain, kita bisa memetik nilai-nilai moral di dalamnya untuk mencermati setiap langkah dalam kehidupan ini.

Kiranya tiga studi kasus yang menjadi dasar tiga pelajaran hidup di tulisan ini bisa membantu Anda yang mungkin berada dalam posisi di studi kasus-studi kasus tersebut. Memecahkan masalah. Memberikan solusi. Itu harapan saya untuk siapa pun yang berada dalam kesukaran seperti di studi kasus 1, 2, dan 3.

Tentu saja, ini subjektif menurut saya. Mungkin Anda tidak sependapat dengan saya dan itu sah-sah saja.

Intinya, bagikan pengalaman dan wawasan kita. Siapa tahu, bisa bermanfaat bagi orang lain, karena menemui kesamaan di dalamnya dan berguna dalam memecahkan masalah.

Pelajaran hidup, jangan dilewatkan begitu saja.

NB. Jika Anda ingin mendengar pemaparan artikel ini dalam bentuk audio visual, Anda dapat menonton di video YouTube saya berikut ini. Semoga bermanfaat.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun