Mohon tunggu...
Elsya Listy
Elsya Listy Mohon Tunggu... Freelancer - Psikologi Unnes 2017

Tidak perlu sempurna, setidaknya menjadi orang yang berguna.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Maraknya Kecanduan Online Food Delivery Order

8 Maret 2020   18:10 Diperbarui: 8 Maret 2020   18:10 2129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tujuannya untuk mengamati fenomena unik perubahan perilaku konsumen akibat layanan online food delivery services berbasis aplikasi ini. Ternyata hasilnya cukup mengesankan, melihat begitu cepatnya sebuah tren berkembang, baik dari tren makanan, bisnis kreatif, sampai para konsumennya. Berdasarkan domisili peserta dengan urutan terbanyak ada di Jawa Timur dengan persentase 67,8%, DKI Jakarta dengan persentase 15,1%, Jawa Barat dengan persentase 10,1%, Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan persentase 2,7%, dan Bali dengan persentase 1,6%. 

Berdasarkan gender diperoleh urutan terbanyak pada wanita dengan persentase 70,5% dan laki-laki dengan persentase 29,5%. Berdasarkan usia diperoleh urutan terbanyak pada usia 21-25 tahun dengan persentase 48,4%, usia 26-30 tahun dengan persentase 30,2%, usia 15-20 tahun dengan persentase 15,5%, dan usia di atas 30 tahun dengan persentase 5,8%. Berdasarkan pekerjaan diperoleh urutan terbanyak pada pelajar/ mahasiswa dengan persentase 44,2%, pegawai swasta dengan persentase 39,5%, pegawai wiraswasta dengan persentase 10,1%, dan pegawai pemerintah dengan persentase 6,2%. Berdasarkan penghasilan diperoleh urutan terbanyak pada penghasilan kurang dari Rp 1 juta dengan persentase 29,8%, Rp 1-3 juta dengan persentase 27,9%, Rp 3-5 juta dengan persentase 23,3%, dan lebih dari Rp 5 juta dengan persentase 19%.

Lembaga riset Nielsen memaparkan riset terbarunya di Indonesia bersama dengan bisnis pesan-antar makanan Gojek, GoFood, dalam sebuah acara yang digelar di Jakarta, Kamis (19/9/2019). Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Fakta di Balik Gemarnya Orang Indonesia Pesan Makanan via Online", https://tekno.kompas.com/read/2019/09/19/15324657/fakta-di-balik-gemarnya-orang-indonesia-pesan-makanan-via-online?page=all. Dalam riset itu, disebutkan 58 persen dari total responden (mencapai 1.000 orang yang berasal dari kota-kota besar di Indonesia) memiliki beberapa alasan seperti kenyamanan konsumen merupakan faktor utama yang menggerakkan pertumbuhan bisnis tersebut. Juga karena masalah waktu. Sebanyak 39 persen dari total responden mengaku memesan makanan secara online lebih praktis lantaran mereka sejatinya tak perlu antre di tempat makan atau restoran.

Namun tanpa disadari, ada beberapa hal yang membuat keunggulan aplikasi tersebut menjadi dampak tersendiri, terutama dampak negatif bagi perilaku manusia. Seperti kurang merasakan kesabaran atau toleransi ketika mengantre makanan, kurang mengerti arah jalan menuju tempat makan yang kita inginkan, kurang mengerti sistem pemesanan maupun pembayaran yang ada di tempat makan tersebut, kurang memperhatikan kesehatan pada makanan seperti junk food atau fast food, kurang sosialisasi dengan orang-orang sekitar maupun penjual, kurang berpikir kreatif untuk memasak di dapur, bahkan menjadikan kita berperilaku konsumtif dan kecanduan. Sehingga dampak negatif tersebut memunculkan perilaku malas untuk melihat dunia luar secara langsung, kurang mengasah kreativitas, dan  kurang menantang diri untuk merasakan hal-hal baru yang mungkin saja sudah mengalami perubahan yang belum kita ketahui. Karena kita tidak bisa terus-menerus hanya mengandalkan pengetahuan mengenai sistem atau aktivitas yang ada di internet tanpa diimbangi dengan melihat dan merasakan langsung sistem atau aktivitas yang ada di lapangan. Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai patologi sosial yang ditimbulkan akibat kecanduan online food delivery order.

Dari hasil observasi, survey dan wawancara kepada driver gojek dan grab, konsumen driver gojek dan grab, konsumen konvensional, dan penjual/ pelayan tempat makan tertentu, peneliti menemukan beberapa hal yang menjadikan penelitian ini sebagai patologi sosial, yaitu diantaranya:

  • Driver gojek dan grab sering mendapatkan komplain dari konsumen jika pesanan lama atau tidak sesuai. Maka tidak heran jika driver tersebut bisa saja meluapkan amarahnya di depan konsumen.
  • Driver gojek dan grab sering merasakan kebingungan ketika pesanan yang diinginkan konsumen tidak tersedia, sehingga ia harus berkomunikasi terus-menerus dengan konsumen yang juga ikut kebingungan memilih aternatif lain.
  • Driver gojek dan grab sering merasa takut jika mendapatkan tempat makan yang antre lama dan panjang, karena bisa saja konsumen membatalkan pesanannya. Sehingga hal tersebut akan berpengaruh pada hasil kerjanya.
  • Driver gojek dan grab berlomba-lomba agar mendapat giliran pelayanan yang cepat. Maka tidak heran jika driver memiliki pemikiran licik dengan memanfaatkan tempat makan tertentu agar dilayani cepat dengan cara memasang GPS di sekitar tempat makan yang ramai, sementara dirinya bersantai ria di rumah. Kemudian saat ada konsumen memesan makanan, driver hanya menghubungi pihak tempat makan tersebut kemudian dirinya hanya mengambil pesanan tersebut untuk diantar ke alamat konsumen tanpa mengantre di tempat.
  • Driver gojek dan grab sering melanggar lampu lalu lintas, di mana saat masih lampu merah langsung diterobos begitu saja demi pelayanan tercepatnya kepada konsumen.
  • Driver gojek dan grab sering sibuk dengan memonitoring gadget-nya saat berkendara untuk memastikan pesan konsumen atau lokasi, sehingga mengganggu pengguna jalan lainnya.
  • Konsumen gojek dan grab biasanya tidak sabar jika harus menunggu driver yang lama dan belum lagi jika pesanan yang diinginkan tidak tersedia. Hal tersebut membuat dirinya berpikir mencari alternatif lain, bahkan berkeinginan untuk membatalkan pesanannya.
  • Konsumen gojek dan grab merasa bingung dengan plat motor atau foto profil driver yang kadang tidak sesuai dengan yang ada di aplikasi, dengan alasan bergantian menggunakan jasanya.
  • Konsumen gojek dan grab merasa dibuat candu dengan adanya potongan harga yang fantastis dengan cara seperti order beberapa kali (misalnya lima kali) terlebih dahulu, kemudian mendapatkan potongan tersebut.
  • Konsumen gojek dan grab merasa kecewa jika tempat makan yang diinginkan ternyata tutup sementara atau selamanya, sedangkan di aplikasinya masih tersedia.
  • Konsumen gojek dan grab merasa  kecewa jika harga menu yang ditawarkan tidak sesuai dengan di aplikasi, bahkan lebih mahal.
  • Konsumen gojek dan grab merasa menu yang diterima tidak sesuai keinginan, seperti salah menu, salah jumlah aitem, sudah tidak segar, bahkan meleleh.
  • Konsumen gojek dan grab dengan sesuka hati memesan makanan tanpa melihat situasi yang mungkin sudah larut malam/ hujan, sehingga merepotkan driver, meskipun sudah menjadi kewajibannya bekerja tanpa mengenal kondisi.
  • Konsumen gojek dan grab terkadang tidak inisiatif menggunakan uang pas ketika hendak membayar, sehingga merepotkan driver yang harus menukar uang terlebih dahulu jika tidak ada uang kembalian yang pas.
  • Konsumen gojek dan grab merasa rugi dengan sistem ongkir (ongkos kirim) di mana jarak jauh maupun dekat harganya sama saja.
  • Konsumen konvensional merasa di diskriminasi jika ada sistem di beberapa tempat makan tertentu yang mendahulukan pelayanan gojek dan grab, mengingat pesanan/ biaya yang driver keluarkan lebih besar daripada konsumen konvensional, sementara mereka sudah menunggu lama sedari tadi dan tetap membudayakan antre.
  • Konsumen konvensional merasa bingung jika driver gojek dan grab memenuhi tempat duduk ketika konsumen datang untuk makan. Sehingga konsumen merasa kecewa jika tidak mendapatkan tempat duduk. Bahkan konsumen bisa saja lebih memilih mencari tempat makan lain.
  • Konsumen konvensional yang tidak sabar bisa melakukan protes kepada pihak pelayan/ penjual tempat makan jika pelayanannya lama karena mendahulukan driver gojek dan grab dengan pesanan yang cukup banyak, dan belum lagi jika driver tidak mendapatkan pesanan yang diinginkan oleh konsumennya, yang bisa menjadikan pelayanannya lebih lama karena harus memilih alternatif lain.
  • Konsumen konvensional merasa tidak nyaman dengan keramaian yang dipenuhi oleh gojek dan grab, terutama jika driver merokok di tempat makan tersebut sekaligus memunculkan aroma keringat yang tidak sedap.
  • Konsumen konvensional merasa tidak adil dengan harga promo yang ada di gojek dan grab yang terbilang lebih murah dibandingkan membeli sendiri atau makan di tempat.
  • Penjual/ pelayan tempat makan merasa terganggu jika driver gojek dan grab terlalu banyak komplain dari konsumen jika pesanannya tidak tersedia, sehingga semakin lama melayaninya dan merasa terkuras tenaganya hanya untuk menunggu kepastian driver tersebut.
  • Penjual/ pelayan tempat makan merasa keberatan jika sistem driver gojek dan grab selalu meminta nota sebagai bukti pembayaran, sementara tidak semua tempat makan memiliki sistem tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan bahwa salah satu bentuk kecanduan internet yang saat ini sedang marak di zaman digitalisasi ini adalah kecanduan online food delivery order. Seperti yang kita ketahui bahwa online food delivery order adalah sebuah jasa yang melayani pesan antar makanan melalui jaringan internet di mana memiliki beberapa keunggulan seperti pelayanan yang cepat, informasi menu yang lengkap, baik dari segi harga, rasa, maupun jarak, bahkan ada beberapa promo yang ditawarkannya.

Lembaga riset Nielsen memaparkan riset terbarunya di Indonesia bersama dengan bisnis pesan-antar makanan Gojek, GoFood, dalam sebuah acara yang digelar di Jakarta, Kamis (19/9/2019) di mana sebanyak 39 persen dari total responden mengaku memesan makanan secara online lebih praktis lantaran mereka sejatinya tak perlu antre di tempat makan atau restoran.

Menurut penjelasan Dr. Kimberly Young dalam artikelnya mengenai Internet Addiction Test (IAT), yang dimaksud dengan adiksi internet adalah ketidakmampuan dalam pengendalian dan unsur merusak dari penggunaan teknologi untuk dilakukan melalui akses internet. Gejala tersebut disamakan dengan yang biasa terjadi pada ciri kecanduan untuk gangguan kontrol impuls pada kasus patologi perjudian karena dianggap oleh beliau tumpang tindih dalam aspek kriteria diagnostik dan simtomatologi.

Young membuat kategori dalam kecanduan internet yang berdasarkan pada aktivitas pengguna, diantaranya sebagai berikut:

Cybersexual addiction, termasuk yang berkaitan dengan aktivitas pornografi dalam bentuk gambar, video maupun diskusi.

Cyber relationship addiction, yang berkaitan dengan komunikasi dan diskusi secara online untuk pertemanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun