"Cinta ini, kadang-kadang tak ada logika..."
Penggalan lirik lagu yang dibawakan Agnes Monica itu mungkin pernah didengar sambil membenarkan keputusan mencintai seseorang yang jelas-jelas tak layak diperjuangkan. Bukan lagi rahasia, jika dalam urusan cinta, sebagian besar perempuan terjebak dalam perasaan di luar nalar. Biasanya perempuan mencintai dengan seluruh hati, tapi lupa mengajak logika ikut serta. Bukan karena perempuan itu bodoh. Sepintar apa pun nilai akademik seorang perempuan, kalau sudah jatuh cinta, mendadak otaknya disimpan dalam freezer. Padahal, mencintai tanpa logika adalah jalan ninja menuju luka.
Biasanya, pemahaman seorang perempuan adalah mencintai itu dengan ketulusan, pengorbanan, dan kelembutan hati. Perempuan dibesarkan bak tuan puteri dengan cerita tentang cinta yang sabar, yang menunggu, yang rela berkorban, bahkan yang tetap bertahan meskipun sakit. Tapi jarang perempuan yang memiliki pemahaman bahwa mencintai juga butuh berpikir rasional. Berpikir tentang batas sampai di mana mencintai orang lain, tentang harga diri sebagai benteng, tentang apakah cinta itu sehat atau hanya menjerumuskan.
Perjuangan atau pengabaian terhadap diri sendiri?
Tak sedikit perempuan yang tetap tinggal berlarut-larut di hubungan yang toxic, hanya karena berharap pasangan akan berubah suatu hari nanti. Ada yang terus memberi, meski tak pernah benar-benar dihargai. Ada pula yang memaklumi kekerasan, baik fisik maupun emosional, atas nama "cinta" yang katanya butuh perjuangan. Pertanyaannya: perjuangan atau pengabaian terhadap diri sendiri?
Cinta, dalam definisi yang sehat tidak akan meminta seseorang untuk mengecilkan diri, perempuan sekalipun. Tetapi faktanya, banyak perempuan yang justru mengorbankan mimpi, pertemanan, kesehatan, bahkan akal sehat mereka demi orang yang katanya dicintai. Lupa bahwa cinta bukan sekadar urusan perasaan, tapi juga soal keputusan. Dan keputusan seharusnya melibatkan otak yang Tuhan anugerahkan sejak lahir.
Refleksi: Mencintai harus setara
Ini bukan soal menyalahkan perempuan. Justru suara ini ingin jadi ruang refleksi: bahwa perempuan perlu belajar mencintai dengan lebih seimbang. Bahwa cinta yang benar tidak membuat kita kehilangan diri sendiri. Bahwa menjadi perempuan yang penuh cinta bukan berarti harus selalu memaklumi saat tidak dihargai. Perempuan boleh baper, tapi bawa serta otaknya.
Perempuan berhak mencintai, dan pada saat yang sama, berhak untuk dicintai secara sehat, setara, dan logis. Perempuan harus tahu kapan cinta menjadikan diri lebih baik, dan kapan cinta hanya jadi topeng dari luka yang dipelihara diam-diam. Mungkin mencintai dengan hati saja itu sangat kuat, tetapi mencintai dengan hati dan logika itu cinta jauh lebih sehat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI