Mohon tunggu...
Haliza Istuning Paundrianagari
Haliza Istuning Paundrianagari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta

Seorang gadis rantau yang banyak belajar tentang kehidupan di Jogja.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kembali ke Awal Tahun 2022, Fenomena Kelangkaan Minyak Goreng dan Dampak Sosial yang Menyertainya

3 Desember 2023   22:24 Diperbarui: 3 Desember 2023   23:21 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Minyak goreng merupakan salah satu komoditas penting bagi kehidupan masyarakat Indonesia bahkan termasuk kategori SEMBAKO (Sembilan Bahan Pokok) bersama beras, gula pasir, daging sapi dan daging ayam, telur ayam, susu, bawang merah dan bawang putih, gas elpiji dan minyak tanah, serta garam seperti yang tertuang dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 115/MPP/Kep/2/1998. Hal demikian mengharuskan harga dari minyak goreng dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat karena menyangkut kesejahteraan rumah tangga maupun industri sehingga sangat penting untuk dapat menjaga kestabilan harga minyak goreng di pasaran.

Sebagai negara produsen sawit terbesar, Indonesia memiliki 14,66 juta hektare perkebunan sawit dengan produksi mencapai 45,12 juta ton pada tahun 2021. Namun sayang, fakta tersebut tidak sejalan dengan kondisi Indonesia beberapa tahun lalu yang mengalami krisis minyak goreng di hampir seluruh wilayah. Krisis tersebut berawal dari melonjaknya harga CPO (Crude Palm Oil atau minyak kelapa sawit mentah sebagai bahan baku minyak goreng) dunia yang disebabkan oleh penurunan produksi akibat pandemi COVID-19. Pemerintah merespons krisis ini dengan beberapa program, seperti Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Minyak Goreng, Program Minyak Goreng Sawit (MGS) Curah, dan Program Minyak Goreng Curah Rakyat (MGCR) guna menjaga daya beli masyarakat dan ketersediaan minyak goreng dengan harga terjangkau.

Minyak goreng menjadi barang langka diawal tahun 2022 diberbagai pasar, toko, dan retail di seluruh Indonesia. Meskipun pemerintah telah menetapkan berbagai regulasi, kelangkaan masih tak jarang ditemui di berbagai daerah. Antrean panjang warga memburu minyak goreng adalah suatu fenomena yang biasa terjadi di supermarket dan minimarket pada saat itu. Dan kelangkaan semakin diperparah dengan munculnya kasus penimbunan di beberapa wilayah, seperti Sumatera Utara, Lampung, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Banten. Untuk mengatasi masalah tersebut, terdapat retail yang menerapkan sistem bak pemilu dimana setiap individu hanya boleh membeli 2 liter minyak goreng dan kemudian mencelupkan jari mereka kedalam tinta sebagai bukti pembelian. Selain itu, warga juga diwajibkan untuk menyertakan KTP dan sertifikat vaksin minimal dosis pertama.

Dari kelangkaan yang terjadi, dampak sosial yang kemudian menjadi fenomena tersendiri adalah fenomena panic buying. Masyarakat memiliki rasa panik secara berlebihan sehingga mendatangkan minat beli yang besar untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng mereka. Hal demikian dapat terjadi karena konsumen merasa khawatir jika kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan mereka dimasa depan. Masyarakat juga merasa cemas jika kelangkaan ini terus berlangsung dan tak kunjung usai sehingga mempersiapkan atas kemungkinan terjadinya krisis yang lebih parah dan secara tidak langsung mendorong mereka untuk memborong sebanyak-banyaknya. Orang yang mengalami kecemasan berlebih cenderung akan mengambil sikap atau tindakan untuk menjaga keselamatannya yang utama sehingga dalam kasus kelangkaan minyak goreng, kecemasan tersebut yang dapat mendorong keputusan untuk melakukan panic buying.

Dengan adanya sebagian masyarakat yang melakukan panic buying, masyarakat lainnya yang sama-sama membutuhkan minyak goreng pastinya akan kesulitan untuk mendapatkan barang tersebut atau terpaksa membeli dengan harga yang sangat tinggi. Penyesuaian kebijakan selanjutnya yang bisa dilakukan adalah memantau eksekusi di lapangan. Kementerian sebagai pembuat regulasi harus melakukan kolaborasi dengan lembaga lainnya untuk dapat memantau realisasi penegakan kebijakan dan mengawasi stok minyak goreng yang beredar di pasaran agar dapat menjangkau segala kalangan dan tidak menuntungkan pihak-pihak tertentu saja. Satgas Pangan Polri, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Ombudsman RI, maupun Ditjen PKTN Kemendag harus dapat berkolaborasi hingga kondisi normal dapat dipulihkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun