Mohon tunggu...
Halilintar Putra Petir
Halilintar Putra Petir Mohon Tunggu... -

[Bukan siapa-siapa. Orang kampung dari ujung timur Madura, Sumenep. Mengabdi untuk kemanusiaan di Jogja]

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ternyata Jokowi Bernyali

19 Februari 2015   06:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:54 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Puncak penghancuran KPK di meja praperadilan hakim tunggal Sarpin Rizaldi sejatinya tidak mengejutkan. Sejak awal mudah diduga bahwa praperadilan itu memang akan memenangkan Budi Gunawan (BG). Putusan Hakim Sarpin merupakan bagian dari agenda besar demoralisasi dan destruksi KPK sekaligus ujian super rumit untuk Jokowi. Yang agak mengejutkan justru respons Jokowi tadi siang.

Mudah dibaca, apa yang diputuskan hakim Sarpin bukanlah putusan hukum—untuk tidak mengatakan telah menghancurkan hukum—paling tidak jika diteropong menggunakan kacamata hukum acara pidana, melainkan bagian dari serangkaian upaya sistematis demoralisasi bahkan penghancuran KPK melalui instrumen hukum. “Pembebasan BG dari status tersangka” oleh Sarpin berada dalam satu agenda setting yang sama dengan lolosya BG dalam fit and proper test di DPR, desakan politisi atas pelantikan BG, ditetapkannya Bambang Widjojanto dan Abraham Samad sebagai tersangka dan dikeluarkannya Sprindik atas kasus-kasus yang menimpa tiga pimpinan KPK lainnya oleh Bareskrim Polri, serta upaya-upaya framing opini publik tentang lemahnya sistem dan kinerja KPK dan buruknya integritas pimpinan KPK.

Sesat Pikir

Dalam kacamata legal formal sangat benderang, tidak tersedia ruang bagi Sarpin untuk menerima permohonan praperadilan BG dan kuasa hukumnya. Mengacu pada Pasal 1 butir 10, Pasal 77, Pasal 82, Pasal 95, dan Pasal 97 KUHAP sangat jelas bahwa penetapan tersangka bukanlah yuridiksi praperadilan. Praperadilan hanya berwenang menyatakan sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dan penyitaan serta ganti kerugian dan rehabilitasi terhadap orang yang ditangkap atau ditahan.

Dengan demikian, membaca putusan Sarpin sebagai sebuah kebenaran dan keadilan legal kemudian mendesakkan pelantikan BG atas dasar putusan tersebut sebagaimana dinyatakan secara terbuka oleh para politisi pendukung BG, nyata-nyata sebuah sesat pikir. Peluang untuk mengoreksi putusan Sarpin masih sangat terbuka. Komisi Yudisial (KY) dapat menguji putusan Sarpin dari sisi etika hakim, sedangkan KPK dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA sebab putusan hakim Sarpin dapat dibaca sebagai penyelundupan hukum, sebab bertentangan dengan kewenangan praperadilan dalam sistem hukum acara pidana.

Implikasi dari situasi ini, Presiden Jokowi seyogianya tidak melihat putusan praperadilan sebagai pedoman hukum untuk mengambil kebijakan politiko-yuridis terkait dengan polemik pelantikan Kapolri dan pelemahan sistematis terhadap KPK. Presiden harus menempatkan putusan praperadilan Sarpin sebagai satu noktah hitam dalam peta besar kriminalisasi Pimpinan KPK, serangan balik (kick back) koruptor terhadap KPK, dan pelemahan gerakan antikorupsi di Indonesia.

Sejak KPK menunjukkan performa sangat meyakinkan sebagai lembaga independen negara penggasak koruptor, musuh-musuh KPK melakukan gerakan sporadis melawan KPK. Hari-hari sejak penetapan BG sebagai tersangka menunjukkan kuatnya konsolidasi “musuh-musuh besar” KPK. Siapa mereka? Melihat latar belakang dominan para koruptor yang selama ini dicokok KPK dan para pembelanya, musuh-musuh terbesar KPK adalah oknum-oknum dari kalangan politisi parpol dan penegak hukum; polisi, jaksa, dan hakim, juga pengacara dan pakar hukum.

Jebakan Politik

Putusan hakim Sarpin semakin menegaskan bahwa yang sedang tersaji di hadapan Presiden adalah jebakan politik yang dipasang oleh musuh-musuh KPK. Mereka sedang bersatu padu menggunakan aneka cara untuk melemahkan gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia. Jebakan politik tersebut sengaja didesain untuk mendorong Presiden mengambil langkah politik yang salah; melemahkan KPK, mengingkari komitmen pemberantasan korupsi, dan melawan arus besar aspirasi publik.

Di sisi lain, inilah momentum politik bagi Presiden Jokowi, Kepala Negara RI, untuk memperteguh harapan baru pemberantasan korupsi yang dijanjikannya dalam Nawa Cita, janji kepada publik pada Pilpres 2014 lalu, dengan tidak melantik BG. Soal pelantikan BG, Presiden memang dihadapkan pada pilihan yang rumit di tengah komplikasi politik yang mengitarinya.

Jokowi, dalam keyakinan Penulis, sedang “berhitung cermat” dengan kecemasan-kecemasan manusiawinya akan risiko-risiko politik yang mungkin akan dihadapi  jika membatalkan pelantikan BG. Pertama,ancaman pemakzulan. Komitmen Prabowo bahwa Koalisi Merah Putih (KMP) akan berada di belakang keputusan Presiden soal melantik atau tidak melantik BG bukanlah garansi. Apalagi, KMP termasuk pihak yang secara tergesa-gesa menambah komplikasi politik dengan menyatakan BG sebagai “patut dan layak” menjadi Kapolri setelah penetapan tersangka.

Kedua, potensi pecah kongsi politik dengan PDIP dan KIH. Jika KIH mencabut dukungan politik, sementara KMP tidak memberikan jaminan dukungan politik, maka dapat dipastikan Presiden akan mengalami “kudeta politik” atas kekuasaan kepresidenan yang disandangnya. Pemerintah sulit “kerja kerja kerja” dalam situasi tersebut. Sebaliknya, Presiden akan terjerumus dalam jebakan politik transaksi demi transaksi.

Kedua risiko tersebut sesungguhnya bukanlah “hukum besi”, sehingga Presiden, dengan magnet politik yang masih dimilikinya, bisa mengelola segala kemungkinan atas risiko tersebut. Di luar dua risiko tersebut, Presiden mestinya lebih khawatir dengan resiko paling serius dan fundamental bagi kekuasaan kepresidenannya; kehilangan dukungan publik, satu-satunya modal politik besar yang dimiliki dalam situasi objektif dia tidak punya kontrol langsung atas parpol, bukan jenderal, bukan korporatokrat-konglomerat, tidak punya "darah biru" elit, sehingga kekuasaannya tampak sangat ringkih.

Dukungan publik harus diakui mulai tergerus akibat komposisi kabinet yang kurang menjanjikan, kenaikan harga BBM, penunjukan Jaksa Agung, pengajuan BG sebagai calon tunggal Kapolri, dan lambatnya penangan polemikPolri vs KPK. Belakangan, menggeliat gerakan “Jangan biarkan Jokowi Sendirian”, setelah publik mulai sadar bahwa dalam kemelut Polri-KPK, Jokowi yang “tidak ber-parpol” itu sesungguhnya sedang “diserang kanan kiri depan belakang” oleh elit-elit parpol dengan aneka kepentingannya.

Kalau Jokowi melantik BG sebagai Kapolri seperti yang dikehendaki sebagian besar elit partai politik, dapat dipastikan harapan pada Jokowi akan padam dan pelan tapi pasti publik akan mencabut dukungan. Jika itu yang terjadi, maka Jokowi betul-betul akan “sendirian” dalam menjalankan kepresidenannya yang baru seumur jagung.

Namun, hari ini Jokowi menunjukkan nyalinya. Dia membatalkan pelantikan BG sebagai Kapolri, artinya melawan kehendak dan desakan partai-partai pendukungnya dan mendengarkan publik, sekaligus mengambil langkah cerdas penyelamatan KPK dan meredam potensi konflik Polri vs KPK yang lebih destruktif. Hebatnya, kebijakan itu diambil dalam situasi para musuh pemberantasan korupsi dari kalangan politisi, polisi, dan hakim, secara terang-terangan melakukan konsolidasi dan perlawanan. Hormat saya untuk Pak Presiden!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun