Mohon tunggu...
Munawar Khalil
Munawar Khalil Mohon Tunggu... Insinyur - ASN, Author, Stoa

meluaskan cakrawala berpikir, menulis, menikmati kehidupan yang singkat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelusuri Jejak Polemik Interpretasi: Persimpangan Antara Fakar, Kafar, dan Awam

18 Mei 2022   12:28 Diperbarui: 18 Mei 2022   14:57 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: tafsiralquran.id

Dalam bahasa Arab, kita mengenal tasrif, (huruf yang bisa dipindah-pindah) yang walaupun di balik atau diputar posisinya, kata tersebut tetap memiliki arti. Kata Fakar berasal dari kata fa, ka, ra, yang artinya berfikir. Dalam bahasa Indonesia berubah menjadi pakar, atau orang yang selalu berfikir, ahli, serta berilmu. Namun kata ini bisa di tasrif menjadi ka, fa, ra, atau kafir.

Dari pemahaman di atas, sebenarnya sederhana. Seringkali kita menggeser suatu makna ke makna yang lain untuk membenarkan sebuah pendapat. Rata-rata awam, masih sangat sulit membedakan antara mengkritisi pemikiran dan mengkritisi pribadi, apalagi mengkritisi agama. Begitu argumen kita lemah, dengan mudah kita menyebut seorang yang fakar tadi menjadi kafar. Sekalipun dia seorang fakar, kalau kafar otomatis kepakarannya dianggap tidak berlaku.

Kondisi ini menurut Yusuf Rahman dalam Kajian Sejarah Awal Pembentukan Al Quran, sifatnya sangat teologis. Menilai kemampuan seseorang berdasarkan keimanan, bukan karena ia memiliki kepakaran dan kedalaman argumentasi, serta kelengkapan metodologis dalam suatu studi. Kafar dalam terminologi ini bukan hanya non muslim, tapi juga muslim yang dianggap keluar dari 'jalur' yang telah mereka tetapkan. Kata kafara/kafir ini, acapkali juga disematkan kepada sesama muslim walau sekedar berbeda mazhab dan manhaj, kaum mu'tazilah yang pakar,  termasuk pilihan politik.

Dalam metodologi kajian modern, teks-teks kitab suci yang sudah ditafsirkan oleh ulama terdahulu itu adalah produk pemikiran. Jadi tidak tertutup untuk dibuka dengan perspektif yang baru. Itu berlaku untuk semua teks. Karena terjemahan bahasa Indonesia juga merupakan tafsir atau produk pemikiran si penerjemah, yang urutan kajiannya bisa saja tercecer akibat terbatasnya sumber-sumber untuk menggali data dan informasi. Bisa karena keterbatasan pengetahuan, bisa juga karena keterbatasan bacaan terhadap kritik sumber.

Jika misal ada pertanyaan; Al Quran itu kalam Allah atau perkataan Muhammad? Kita tentu akan menjawab itu kalam Allah, karena pada beberapa ayat menginterpretasikan seperti itu. Tapi jika menganalisis logis premis proses turunnya ayat yang melalui Jibril, Al Quran adalah perkataan Muhammad yang disampaikan kepada sahabat dan di catat oleh Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, dan Ubay bin Ka’ab.

Mereka menuliskan ayat Al-Quran di berbagai media yang bisa digunakan saat itu. Mulai dari pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, hingga potongan tulang binatang. Semua ayat itu turun tidak langsung, melainkan melalui perantaraan Jibril. Yang langsung itu adalah hadits qudsi, itupun lewat perantaraan mimpi dan ilham.

Di masa kekhalifahan Abu Bakar barulah lembaran-lembaran mushaf tersebut dikumpulkan. Itupun pasca perang Yamamah ketika begitu banyak penghafal-penghafal Quran mati syahid. Sehingga dikhawatirkan teks-teks tersebut akan hilang. Terdapat pertentangan waktu itu antara Umar yang mengusulkan dan Abu Bakar yang tidak mau membukukan karena Nabi semasa hidupnya tidak pernah memberi amanah untuk membukukan Al Quran.

Untuk menghindari hilangnya Al Quran, pada akhirnya Abu Bakar setuju. Namun karena persoalan mengumpulkan mushaf tersebut bukan perkara mudah, hal ini berlangsung lama. Baru ketika masa kekhalifahan Utsman lah mushaf ini bisa dibukukan. Artinya mengumpulkan mushaf yang terserak ke sana ke mari dari berbagai media yang saat itu mudah rusak, tidak ada pulpen, tinta, kertas, atau komputer tentu teks-teks tersebut bisa saja rentan berkurang validitasnya.

Bagaiamana dengan hafalan para sahabat? Hafalan itupun tidak menyeluruh seperti sekarang langsung dalam 30 jus. Tapi perpotong, lalu diserahkan oleh Utsman yang kemudian memberikan lembaran mushaf tersebut kepada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Ibnu Abbas, dan Abdullah bin Haris untuk menyalin Al-Quran menjadi satu kitab/buku. Jika sahabat penghafal saat itu hafal 30 jus tentu tidak perlu lagi mengumpulkan mushaf. Cukup para penghafal saja dikumpulkan, lalu masing-masing membacakannya, saling koreksi, kemudian dituliskan.

Salinan beberapa mushaf yang dikumpulkan, ditulis, lalu dibukukan tersebutlah yang kita kenal sebagai Al-Quran dengan kaidah Rasm Usmani atau Al-Quran yang ditulis dengan gaya penulisan saat Khalifah Utsman bin Affan berkuasa. Al-Quran dengan kaidah Rasm Usmani ini menjadi tolak ukur karena dianggap masih tidak terlalu jauh jaraknya dengan Nabi. Artinya gaya penulisan, urutan, bahkan tafsirnya mengikuti gaya para penulis di atas yang tentu juga masing-masing memiliki pemahaman berdasarkan karakter individunya dalam menangkap kata-kata Nabi dan tulisan pada mushaf awal. Itupun masih berupa huruf Arab gundul yang tanpa harakat diakritik atau tanda baca. Beberapa kajian juga mengidentifikasi jika metodologi isnad/sanad dalam kajian Al Quran dan Hadits baru muncul 200-an tahun pasca wafatnya Nabi.

Dari beberapa kajian para sarjana Barat yang meneliti Al Quran menurut Munim Sirry dalam bukunya Kontroversi Islam Awal, ada temuan penting yang menyatakan bahwa Al Quran yang umum kita pegang saat ini sebenarnya bukan lagi berasal dari Rasm Usmani, tapi dari Edisi Kairo/Faruq yang  diterbitkan pertama pada 10 Juli 1924, yang sudah dilengkapi dengan harakat atau tanda baca dalam huruf hijaiyah. Ketika versi ini muncul, maka versi yang sebelumnya termasuk yang edisi Usmani pun dimusnahkan dan dibuang ke sungai Nil. Tindakan ini mengulang tindakan Usman dan Al Hajjaj ketika memusnahkan mushaf-mushaf lain agar Al Quran menjadi seragam.

Jika menganalisis prosesnya yang panjang tersebut dari abad 6 sampai abad 19 lalu sekarang, artinya yang di kritisi itu adalah produk penulisan, hafalan, pemikiran, dan pemahaman yang telah berlangsung ribuan tahun. Dan wajar jika ada yang mengkritisi. Sebab dari awal, Al Quran turunnya perbagian, tidak komprehensif berurut menyesuaikan waktu turunnya. Ayat pertama turun yaitu surat Al-'Alaq 1-5 yang terkenal dengan sebutan iqro saja tidak otomatis menjadi ayat pertama dalam Al Quran.

Surah dan ayat yang pertama turun ini malahan berada pada jus terakhir di jus 30. Memang akan sulit kita memahami jika analisa kita belum ke sana. Begitu ada pendapat berbeda tentang sebuah pemikiran, kita buru-buru menyebutnya dengan menyerang Al Quran, agama, atau penyerang pribadi ustadz kontemporer yang membacakan ayatnya kepada kita.

Itu berlaku untuk semua ayat atau dalil dalam bahasa Indonesia yang disampaikan kepada kita oleh siapapun. Contoh, jika ada yang memiliki interpretasi berbeda terhadap suatu dalil. Itu wajar saja. Produk dari interpretasi tersebut akan kita temukan; ada yang menerapkan, ada juga yang tidak. Kita memaknainya sebagai khazanah keilmuan yang tidak lagi dalam perkara benar atau salah. Karena interpretasi dalam teori ilmu tafsir itu memerlukan penjarakan, berlepas, dan membebaskan dirinya dari maksud si pembuat teks.

Sebenarnya, ketika suatu pemikiran kita sampaikan ke ruang publik, kita harus menyiapkan resiko pemikiran kita itu di kritisi. Kajian tentang Al Quran saja bisa dikritisi metodologinya, apalagi Assunah. Parahnya, kita malah lebih sering berpolemik di tataran Hadits yang digelorakan oleh kelompok pengusung Sunnah, dibanding Al Quran sendiri. Padahal, jika pemikiran kita tertutup untuk dikiritisi orang lain, pemikiran itu harusnya jangan disampaikan ke ruang publik (media sosial). Sebab tidak semua pemikiran harus kita sampaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun