Mohon tunggu...
Rahman Hakim
Rahman Hakim Mohon Tunggu... Communication Specialist | Art, Media, and Corporate

Saya adalah seorang praktisi dan akademisi komunikasi dengan pengalaman lintas bidang, mulai dari MC, public speaking, corporate training, voice over, journalism, hingga penulisan konten media. Saya berusaha menggabungkan ketajaman analisis media, sentuhan seni, dan pemahaman dunia korporasi untuk menghasilkan karya yang tidak hanya informatif, tapi juga inspiratif. Saya aktif di ranah akademik sebagai mahasiswa magister Ilmu Komunikasi UGM dan bercita-cita menjadi akademisi yang membumikan teori komunikasi melalui bahasa yang sederhana dan relevan. Saya memiliki ketertarikan pada isu seni, budaya lokal, dan gender, serta gemar membagikan insight seputar komunikasi, media, dan gaya berbicara yang autentik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Ucapan Pejabat Tentukan Nasib Demokrasi, Pakar Komunikasi Politik: Bedakan Retorika Persuasif dan Pemaksaan

27 September 2025   11:22 Diperbarui: 27 September 2025   11:34 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa pemimpin tidak pernah netral. Hal itu bisa menjadi jembatan yang memperluas ruang demokrasi, atau justru tembok yang menutup partisipasi publik. Fenomena ini tergambar jelas dalam sebuah diskusi akademik yang mengangkat tema pergeseran retorika dari arogansi menuju urgensi.

Dalam kajian komunikasi politik, retorika dipahami sebagai seni menyampaikan pesan yang memengaruhi publik. Namun, ketika retorika kehilangan empati, yang lahir bukanlah persuasi, melainkan pemaksaan.

Pakar Komunikasi Politik sekaligus Guru Besar Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Prof. Nyarwi Ahmad., Ph.D menyebut jika para elit kerap tidak mampu membedakan antara persuasi dan pemaksaan dalam komunikasi publik. "Persuasi dilakukan dengan pendekatan argumentatif, melalui pendapat dan data untuk mengubah sikap. Sementara itu, pemaksaan justru menggunakan cara yang tidak demokratis, bahkan mengarah pada kekerasan verbal," tegasnya dalam sesi tersebut.

Ia mencontohkan kritik publik terhadap pemerintah soal penciptaan lapangan kerja yang dibalas dengan tagar #KaburAjaDulu. "Baginya, ini bukan diskusi, melainkan wujud dari retorika arogansi," ujar Prof. Nyarwi. Menurutnya, kritik yang mestinya menjadi ruang deliberasi justru berubah menjadi alat untuk menutup percakapan.

Sementara itu, praktisi komunikasi publik, Dr. Agus Sudibyo, menyoroti dimensi lain dari persoalan retorika yakni transformasi digital. Menurutnya, perubahan lanskap media telah menggeser posisi media tradisional. "Arus utama dikuasai digital. Tetapi sebenarnya bukan hanya disrupsi dan transformasi, tapi juga merger dan hibridisasi antara ilmu komunikasi dan ilmu komputasi," ungkap Agus.

Ia juga menekankan pentingnya tanggung jawab platform digital dalam menghadapi arus hoaks. "Dalam setiap penyebaran hoaks, di luar negeri, bukan hanya orang-orang yang menyebarkan yang diproses secara hukum, tapi juga platform tempat disebarkannya hoaks," jelasnya. Menurut Agus, media sosial harus dilihat bukan hanya sebagai perusahaan teknologi, melainkan juga perusahaan media yang memiliki kewajiban menjaga kualitas informasi.

Dari dua perspektif ini, tergambar benang merah yang jelas: kualitas demokrasi sangat bergantung pada kualitas komunikasi publik. Retorika arogansi hanya memperlebar jurang polarisasi, sementara retorika urgensi mengajak pada kesadaran kolektif bahwa komunikasi adalah ruang bersama untuk mencari solusi.

Dalam perspektif akademis, fenomena ini sejalan dengan konsep ruang publik yang dikemukakan Jrgen Habermas: demokrasi hanya dapat berkembang jika percakapan publik berlangsung secara inklusif, rasional, dan argumentatif. Retorika urgensi memberi jalan menuju kondisi itu, sementara retorika arogansi justru menutupnya.

Bahasa kekuasaan pada akhirnya bukan sekadar alat politik, tetapi juga cermin nilai dan komitmen terhadap publik. Saat kata-kata disampaikan dengan empati, argumentasi, dan kesadaran moral, komunikasi tidak lagi menjadi sekadar retorika kekuasaan, melainkan fondasi bagi demokrasi yang sehat dan partisipatif. (RH)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun