Mohon tunggu...
Dian Kusumanto
Dian Kusumanto Mohon Tunggu... Warga Perbatasan

Berbagi Inspirasi dari Batas Negeri

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ketika Hukum Kehilangan Nurani : Refleksi atas Vonis Tom Lembong

26 Juli 2025   18:25 Diperbarui: 26 Juli 2025   18:25 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ketika Hukum Kehilangan Nurani: Refleksi atas Vonis Tom Lembong"

Oleh: Dian Kusumanto

Putusan majelis hakim terhadap mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, dalam kasus dugaan korupsi impor gula kembali mengguncang nalar keadilan publik. Salah satu tokoh hukum ternama, Prof. Mahfud MD, bahkan secara terang-terangan menyatakan bahwa vonis tersebut keliru secara hukum dan membahayakan masa depan penegakan hukum di negeri ini.

Pernyataan Mahfud bukan tanpa dasar. Ia menyoroti hal paling mendasar dalam hukum pidana: unsur kesalahan. Dalam hukum, tidak cukup seseorang hanya melakukan suatu tindakan (actus reus) untuk dijatuhi pidana. Harus ada juga niat jahat (mens rea). Dan dalam kasus Tom Lembong, niat itu tidak ditemukan.

Tom Lembong hanya menjalankan tugas administratif sesuai instruksi dari atas, yang dalam hal ini adalah Presiden. Kebijakan impor gula serta penunjukan koperasi TNI-Polri sebagai pelaksana, adalah bagian dari strategi pengendalian harga pangan nasional. Ini adalah kebijakan publik, bukan tindakan kriminal.

Lebih mencemaskan lagi, pengadilan dalam kasus ini justru mengabaikan audit resmi dari BPKP dan memilih membuat perhitungan kerugian negara versi mereka sendiri. Ini adalah preseden berbahaya. Bila hakim bebas mengabaikan lembaga resmi negara dan membuat tafsir sendiri, maka tidak ada lagi kepastian hukum. Hukum menjadi lentur sesuai arah angin kekuasaan.

Yang lebih ironis, hakim menyebut bahwa kebijakan Tom "kapitalistik" dan menjadikannya sebagai alasan yang memberatkan. Ini bukan hanya aneh, tapi juga memperlihatkan kekacauan logika antara ide, norma, dan hukum positif. Sejak kapan kebijakan ekonomi dengan pendekatan pasar dianggap kriminal, hanya karena terdengar "kapitalistik"?

Vonis seperti ini memperkuat kesan bahwa hukum kita tak lagi berdiri di atas nurani keadilan, tapi lebih tunduk pada logika kekuasaan dan tafsir politik. Siapa yang dekat dengan lingkaran kekuasaan bisa diselamatkan, siapa yang sedang tak dibutuhkan bisa "dikorbankan".

Bangsa ini harus berhenti mengkriminalisasi kebijakan publik, selama tidak ditemukan adanya korupsi atau penyimpangan untuk kepentingan pribadi. Jika tidak, maka setiap pejabat akan selalu was-was mengambil keputusan, dan ujungnya birokrasi menjadi stagnan karena takut dijadikan tumbal politik.

Kita memerlukan penegakan hukum yang berpihak pada keadilan, bukan pada kekuasaan. Yang menegakkan norma, bukan menyesuaikan dengan arah politik. Jika hukum terus dipermainkan seperti ini, maka cepat atau lambat, rakyat akan benar-benar kehilangan harapan pada keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun