Mohon tunggu...
Hajad Priyadi
Hajad Priyadi Mohon Tunggu... Guru SMK HangTuah 2 Jakarta

Saya Hajad Priyadi, seorang pendidik yang suka baca dan nulis apa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Air Mata di Malam Maulid

9 September 2025   08:00 Diperbarui: 8 September 2025   11:55 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maghrib telah lewat. Suara shalawat semakin nyaring. Fauzan akhirnya berjalan pelan menuju masjid, tapi ia berhenti di luar pagar. Dari sana, ia bisa melihat kerumunan orang. Di depan masjid, seorang kyai sepuh, Kyai Thohir, duduk bersila sambil menunggu jamaah tenang.

Fauzan mendekat perlahan. Kyai Thohir menoleh, lalu tersenyum melihatnya. "Fauzan, kau tidak masuk?"

Fauzan menunduk hormat. "Kyai, saya... masih bingung. Mengapa kita memperingati Maulid? Bukankah agama ini sederhana? Kenapa kita menambah-nambah dengan acara seperti ini?"

Kyai Thohir mengelus janggut putihnya. "Nak, pertanyaanmu bagus. Itu tandanya kau masih ingin belajar. Tapi ingatlah, tidak layak orang berakal bertanya: 'Mengapa kalian memperingati Maulid?' karena itu sama saja seperti bertanya: 'Mengapa kalian bergembira dengan lahirnya Rasulullah?'"

Fauzan terdiam. Kata-kata itu masuk, tapi ia belum puas. "Tapi Kyai, adakah dalilnya?"

Kyai Thohir tersenyum bijak. "Coba dengarkan kisah ini. Dulu, ada seorang kafir bernama Abu Lahab. Ia memang musuh Rasulullah. Tapi saat Nabi lahir, ia merasa senang dan memerdekakan budaknya, Tsuwaibah, karena membawa kabar kelahiran Muhammad. Karena kegembiraannya itu, setiap hari Senin, Allah ringankan siksa Abu Lahab. Kalau orang kafir saja diberi keringanan karena gembira dengan lahirnya Nabi, bagaimana dengan orang Islam yang ikhlas mencintai beliau?"

Fauzan terdiam lebih lama. Logikanya masih bertanya-tanya, tapi hatinya mulai terusik.

***

Acara dimulai. Jamaah membaca shalawat bersama. Suaranya keras, tapi penuh kekhusyukan. Anak-anak ikut bernyanyi, meski nadanya kadang salah. Wajah orang-orang desa tampak begitu bahagia.

Fauzan masih berdiri di luar pagar, tapi ada sesuatu yang berubah. Suara shalawat "Thala'al Badru 'Alaina" menggema. Nada itu sederhana, tapi saat semua jamaah menyanyikannya bersama-sama, suasananya jadi menggetarkan.

Hati Fauzan berdegup. Dadanya terasa hangat. Tiba-tiba ia melihat seorang anak kecil, kira-kira enam tahun, mengangkat tangan sambil ikut bershalawat. Wajahnya polos, matanya berbinar, seolah benar-benar menyambut Nabi yang datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun