Mohon tunggu...
Hairil Anwar Arifin
Hairil Anwar Arifin Mohon Tunggu... -

Penikmat seni dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

SMS Terakhir

24 September 2011   17:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:39 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

H

ari masih pagi. Pekatnya malam masih tersisa di ufuk timur. Namun sang surya seperti tak sabar menyeringai diri. Bahkan sinarnya mulai terasa menyengat kulit. Dinginnya malam pun tak lagi tersisa. Tetesan embun yang biasanya masih bergayut di ujung daun, mulai tampak tak terlihat. Jalanan pun kian berdebu. Sementara gerombolan awan putih terus berarak ke arah Tenggara. Aku sedikit gerah. Peluh pun mulai mengucur di sekitar wajahku. Memang sejak sebulan terakhir hujan tak kunjung datang membasahi desaku. Padahal desa tetangga yang hanya berjarak sepuluh kilometer dari tempat tinggalku sudah tiga kali diguyur hujan.

“Mungkin Tuhan sedang menguji kesabaran warga di desamu,” kata Retno warga desa sebelah yang juga sahabat baikku dalam satu perjalanan menuju kecamatan. Sejumlah wargapun mulai kesulitan air bersih. Untuk aktivitas sehari-hari, beberapa diantara mereka dengan terpaksa harus rela mencuci dan mengambil air ke sungai meski jaraknya cukup jauh dari desaku. Tiba-tiba mata kiriku terasa pedih. Tetesan peluh rupanya mulai mengalir turun. Tapi aku tak peduli. Bahkan langkah kakiku semakin ku percepat agar diriku segera tiba di rumah sakit. Setengah berlari terus ku pacu jalanku. Nafasku pun mulai tersengal setelah dua kilometer perjalanan ku lalui tanpa kendaraan. Memang pagi itu aku tak dapat menunggang sepedaku kayuhku karena rantainya putus menjelang Maghrib disaat aku hendak menuju rumah usai bermain bola kaki di lapangan desa. Tapi lagi-lagi aku tak peduli. Rasa lelah dan letih tak lagi ku hiraukan meski tubuhku mulai bersimbah peluh.

“Untung saja aku mandi sehabis Subuh tadi. Kalau tidak badanku pasti sangat gerah sekali,” gumamku dalam hati. Akibatnya aku pun terpaksa berjalan kaki. Sementara angkutan desa tak melayani penumpang pada hari Minggu karena trayek dari desaku ke kecamatan cuma empat kali sepekan minus hari Rabu.

“Hari Minggu waktunya untuk beristirahat,” jelas sopir angkutan desa kepada warga ketika ditanya alasannya tidak kerja di hari Minggu. Aku terus berjalan. Sesekali ku perhatikan kanan kiriku. “Tak banyak yang berubah,” pikirku.

Kondisi desaku memang tak jauh berbeda sejak ku tinggalkan tiga tahun silam. Jalan sepanjang empat kilometer yang menghubungkan antara desaku dan kecamatan masih seperti dulu, berdebu di kala kemarau dan berlumpur di saat hujan. Begitu pula dengan kehidupan warga tak banyak berubah. Rumah Pak Wo Isa misalnya masih tetap berdinding kulit kayu dan berlantaikan bumi. Hal yang sama juga terlihat pada kediaman Pak Cik Syukur yang beratap daun nipah hingga sekarang. Namun gubuk Pak Nga Mahmud yang semula tersusun dari bilah bambu agak sedikit berubah karena telah berlantai semen, berdinding papan dan beratap asbes. Kata Mak Nga Jemah istrinya. rumah itu dipugar oleh pemerintah yang disalurkan melalui bantuan Dinas Sosial Kabupaten. Sementara itu sama seperti kehidupan warga, kondisi lingkungan di sekitar desaku pun kian semerawut bahkan semakin tak terurus. Lingkungan porak poranda akibat aktifitas penambangan timah yang tak terkendali. Pohon Durian Lumpang yang dulu berdiri kokoh di tengah kampung sudah tinggal tunggulnya saja. Yang ku dengar dari cerita warga, pohon durian tersebut sengaja ditebang setelah dibeli Pak Sarsyad orang kaya di desaku untuk perluasan rumah dan membangun kantor administrasi usahanya. Pak Sarsyad memang orang berduit dan mungkin satu-satunya orang kaya di desaku. Dengan duitnya ia bebas melakukan apa saja di desaku termasuk merusak lingkungan dengan membuka tambang di kawasan terlarang. Tak ada warga yang berani menentang keinginannya termasuk kepala desa sekalipun. Bahkan tak jarang kepala desa diperlakukan seperti kuli tapi diberi imbalan uang yang banyak jika ia ingin melakukan sesuatu sesuai kehendak Pak Sarsyad. Pak kades demikian warga biasa menyapa pemimpin desaku itu, seperti tak lagi ada harga diri di mata Pak Sarsyad. Sejumlah warga memang sering ngedumel atas ulah Pak Sarsyad tapi cuma berani di belakangnya saja. Jika berhadapan langsung dengan Pak Arsyad mereka langsung kecut. Tragisnya, banyak warga yang telah kehilangan tanah, kebun dan pekarangan karena dibeli Pak Sarsyad. Namun demikian kehidupan mereka tetap tak berubah karena harta benda mereka yang dibeli Pak Sarsyad sangatlah murah.

“Saya serba salah, Nak. Kalau tidak dijual ia terus saja merayu saya sampai saya jual. Saya bingung harus bagaimana lagi. Mau buka tambang timah sendiri tak punya modal,” kata Atok Karim ketika ku tanya alasannya menjual tanah kepada Pak Sarsyad. Padahal menurut tetangga sekitar tanah milik Atok Karim dengan luas sekitar lima hektar itu banyak sekali mengandung bahan galian timah.

Tanpa dikomando tiba-tiba aku menggelengkan kepala sebagai isyarat mengutuk keras perangai Pak Sarsyad. Wajahku kemudian ku tengadah ke atas dengan harapan Atok Karim dapat kemurahan rezeki di sisi lain. Tapi tiba-tiba “Aduh,” aku menjerit. Aku merasa ada yang sakit pada jempol kakiku. Bahkan ada cairan merah yang mengalir di ujung jari sesaat setelah aku melihat ke arah kaki kananku. Seketika aku tersadar bila aku baru saja tersandung batu jalanan. Aku pun meringis menahan sakit sembari mengangkat kaki kananku dan berdiri persis dengan sebelah kaki kiri. Ada sesal karena aku tak konsentrasi dalam perjalanan. Tapi di sisi lain aku menyalahkan pemerintah karena tak kunjung mengaspal jalan desaku. Padahal kata pak kades, usulan untuk mengaspal jalan itu selalu diajukan setiap tahun ke pihak kecamatan. Hanya saja realisasinya tak kunjung terwujud. Aku bingung dimana berhentinya usulan itu. “Untuk apa aku memikirkan urusan yang bukan menjadi urusan ku,” batinku sembari menggelengkan kepala. Aku pun terus berjalan. Apalagi jarak yang akan aku tempuh tinggal beberapa ratus meter lagi. Bahkan sayup-sayup sampai mulai terdengar kebisingan di ibukota kecamatan. Langkah kaki terus ku percepat. Setelah lepas sebuah tikungan, aku tiba di rumah sakit. Aku pun langsung menuju ruang ICU tempat Atria Sukmawati, pacarku dirawat sejak dini hari tadi. “Ya Allah...sembuhkanlah Atria,” doaku di sepanjang koridor menuju ICU. Doa itu terus ku baca berulang-ulang hingga mendekati ruang perawatan. Sejumlah kerabat Atria berada di sana. Mereka terisak dan menangis. Setelah mengucapkan salam, ku sapa mereka satu persatu sembari menanyakan kondisi Atria. Namun tak ku temukan jawabannya. Yang terdengar malah isak tangis yang semakin kencang. “Ada apa ini,” tanyaku dalam hati. Aku mulai gelisah sembari masuk ke ruang ICU. Terdengar syahdu lantuan Surat Yassin dari beberapa orang termasuk orang tua Atria. Tiba-tiba mataku tertuju pada sesosok manusia yang terbujur kaku di ruang tersebut. Tapi tak jelas siapa sosok tersebut karena sekujur tubuhnya mulai dari kaki hingga kepala tertutup kain putih. Cuma jempol kakinya saja yang terlihat dan terikat kain kasa. Warnanya pun sangat pucat. “Siapa dia.....mungkinkah itu Atria,” kataku pelan. Tubuh ku mulai lemas meski aku terus berusaha tegar. “Nak.....sini,” sebuah suara tiba-tiba memanggilku. Ku lihat ibunda Atria melambaikan jarinya ke arahku. Setelah aku mendekat, Ibunda Atria berkata,”Atria.....Nak.” Aku semakin bingung. “Ada apa bu dengan Atria,” tanyaku setengah berbisik. “Atria telah menghadap.....,” jawabannya terputus. Ibunda Atria tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Bahkan ia kemudian menangis sembari menutup Surat Yassin yang ada di tangannya. Meski demikian aku dapat menyimpulkan maksud dari jawabannya itu. Aku berusaha tegar meski tubuhku sedikit gemetar. Lantas akupun berdiri mendekati jasad Atria yang telah terbujur kaku tak bernyawa itu. Ku singkap kain putih yang menutupi wajahnya. “Innalillahiwainnailaihirojiun,” ucapku sembari meraup wajah cantiknya dengan tangan kananku. Ku perhatikan wajah Atria dalam-dalam. Tiba-tiba sebutir bening mengalir dari mata ku. “Aku tak menyangka bertemu dirimu dalam kondisi seperti ini....Atria.” Kataku pelan. Tiba-tiba ada penyesalan dalam batinku. Aku menyesal karena tidak segera menemui Atria di saat ia membutuhkanku. Aku pun kemudian teringat SMS terakhir yang dikirim Atria padaku empat hari lalu. Ku ambil handphone dari saku celanaku dan ku baca berulang-ulang SMS tersebut. “Pulanglah segera.....aku rindu kamu,” demikian bunyi pesan singkat tersebut. Namun permintaan Atria tak dapat ku penuhi secepat itu, karena selain belum mendapatkan izin dari atasan, Atria pun tak pernah bercerita jika dirinya menderita tumor otak. Selama ini Atria memang menyimpan rapat penyakit yang ia derita. Bahkan orang tuanya pun tak tahu jika ia menderita penyakit tersebut. “Penyakitnya sudah sangat kronis. Menurut dokter, tumor otak yang ia derita sudah tak dapat tertolong lagi,” kata sepupu Atria ketika ku tanyakan apa penyebab kematian pacarku itu. Buliran bening semakin deras mengaliri wajahku. Tubuhku terasa lunglai. Penyesalan demi penyesalan terus berganti seolah menyalahkan diriku. “Jika aku cepat pulang mungkin kondisinya akan berbeda,” sesalku. Tapi semua telah terjadi. Tuhan berkehendak lain. Ketegaran Atria pada sakitnya ternyata ada batasnya. Atria dijemput sang Khalik di saat masih banyak orang yang merindukannya termasuk aku. Bagiku, semua ini merupakan ujian. Dan aku berdoa, semoga Allah Swt mengampuni dosa-dosanya dan menerima segala amal perbuatannya semasa hidup di dunia. Amin.(*)


Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun