Sebuah fragmen perjalanan yang terukir dalam memoar sang waktu, bak untaian benang takdir yang mengikat jiwa pengembara. Pada tanggal 4 Juni, pukul 15.00 WIB, dari landasan pacu Bandara Hang Nadim Batam, kami, para musafir modern, memulai sebuah ekspedisi spiritual.Â
Di antara riuh rendah cek bagasi, sembari menunggu gerbang surga metal terbuka, percakapan lepas terjalin bersama Mas Adi dan Mas Sude. Kami datang dari Sukajadi, memecah sepi jalanan usai Jumatan, tepat pukul 13.00 WIB. Namun, seperti layaknya drama kehidupan, sang waktu memiliki alurnya sendiri.Â
Pesawat yang akan menjadi tunggangan kami menuju cakrawala Yogyakarta, tertunda, menunda janji kebebasan hingga pukul 15.35 WIB. Ketika sang raksasa besi akhirnya mengecup mesra landasan Bandara Kulonprogo, Yogyakarta, rasa haus akan kafein menyeruak bagaikan gelombang pasang.Â
Di tengah hiruk-pikuk kedatangan, saya mencari oase kopi, sembari menanti jemputan dari Sang Penjaga Gerbang, Pak Yono, bersama Mas Puji. Mereka, para ksatria pegunungan, telah meluncur dari Batur sejak pukul 15.00 wib menembus belantara jalanan demi menjemput kami.Â
Pertemuan di area penjemputan bak reuni para bintang yang berjauhan. Tanpa membuang waktu, kami melesat, membelah malam Jogja menuju Magelang, namun tak lupa menepi sejenak di "Warteg Aw" dekat bandara, untuk mengisi "gudang tengah" dengan santapan nikmat, disusul ritual sakral secangkir kopi dan sebatang "kerabat sejati" (rokok).
Setelah energi terisi penuh, perjalanan kembali dilanjutkan, menelusuri untaian aspal Jogja menuju Magelang. Udara malam yang tenang merasuki kulit, membawa embusan angin dingin yang menenangkan jiwa, seolah alam sedang berbisik tentang kedamaian yang akan kami temui.Â
Setibanya di Magelang, persinggahan singkat dilakukan untuk menitipkan "pakaian perang" saya. Mas Adi dan rekan-rekannya, di depan rumah, terlibat dalam "simfoni obrolan" dengan tetangga Magelang, menjalin silaturahmi yang hangat. Hanya sekitar 30 menit, kami kembali "bergerak," memecah kegelapan malam dari Magelang menuju Desa Batur.
Jalanan yang kami lalui tak lagi datar, melainkan menanjak, menembus "labirin pegunungan" yang asing bagi mata saya. Aroma malam, embun dingin yang memeluk erat, dan mendung yang bergelayut manja, menciptakan sebuah "lukisan perjalanan" yang luar biasa. Sekitar satu setengah jam kemudian, sang waktu mengantarkan kami ke Desa Batur, Semarang.Â
Sebuah desa yang terletak di dataran tinggi, dengan desa-desa tetangga yang mengelilinginya, bak gugusan permata di atas permadani hijau. Kami menyusuri jalan Magelang ke arah Kopeng, lalu berbelok menuju Salatiga.Â